KAYU API (I) oleh hudan hidayat

 it wasn't the end, not yet

 

 

 

Kayu Api

Bagian Pertama

Jembatan

   Senja turun dari langit saat aku memikirkan kembali hidupku. Langit kosong, dan burung-burung melintas di kaki langit.

Seorang perempuan penjual jamu setengah berlari di atas jembatan, jembatan yang telah kupandang dari atas rumahku sejak bertahun-tahun yang lalu. Seakan jembatan itu adalah tali yang direntangkan untukku seorang, dan aku harus berjalan di atas tali jembatan. Tapi sepanjang hidupku aku baru sekali saja berjalan di atasnya.

Jembatan itu seakan sambungan diriku dengan dunia. Rimba di mana segala peristiwa dan benda berlarian dalam teropongku. Sering kubayangkan rimba itu adalah kebun dengan buah dan duri, dan tanganku tinggal memetik buah yang kusukai.

 

Tapi aku tidak pernah keluar dari hidupku ini. Aku hanya berputar saja dari kamar ke kamar. Turun ke lantai bawah rumahku dan naik ke lantai atas rumahku. Atau berjalan dari tepi ke tepi sudut-sudut rumahku. Di mana aku memandang tiap lengkung atau lebar benda, bau dan warnanya, yang kuresapkan dengan sudut mataku yang bertaut dengan jiwaku.

Kadang aku menonton acara televisi di salah satu kamar di bawah. Di depan layar televisi jari-jari tanganku menekan-nekan tombol acara dengan cepat, seolah tiap acara menungguku dan tanpa kehadiranku acaranya tidak akan dimulai. Kadang aku menonton film perang dan kusaksikan di dalam dunia orang-orang berjuang untuk hidup. Mereka harus membunuh atau dibunuh. Tak pernah ada jalan tengah dalam perang.

Misalnya seseorang enggan membunuh karena sayang dengan kemudaan lawannya. Bisa juga lawannya yang muda sayang dengan tubuhnya yang tua. Mungkin dia berpikir dengan membunuh orang tua seolah dia membunuh orang tuanya sendiri. Pikiran yang sama dengan orang yang sudah tua: dengan membunuh anak muda maka seolah ia membunuh anaknya sendiri. Tapi seperti yang kusaksikan dalam film atau dalam cerita yang kubaca, orang terpaksa saling membunuh bukan karena ingin membunuh tapi karena harus membunuh. Sebab dengan begitu mereka akan terus hidup, tidak menjadi korban dan mati di dalam perang.
Keniscayaan ini membuatku berpikir tentang relasi tuhan dan dunia.
Tuhan membutuhkan dunia untuk menampakkan kebesarannya. Sedang dunia membutuhkan tuhannya untuk kelangsungan hidupnya.

 

Di rumahku yang besar dengan langit-langit yang tinggi, kadang adegan-adegan film kartun yang kutonton berlarian menjadi tiang-tiang rumahku. Seorang tokoh kartun dengan badan melengkung melompat dari satu tiang ke tiang lain, sementara lawannya sudah menunggu di atas undakan tiang utama dan melepas sebongkah batu tepat mengenai kepala babi. Aku melihat babi tergencet batu. Buntutnya bergerak-gerak lalu  tiba-tiba melesat mengejar bebek yang kini berlari menjebol atap rumahku. Kudengar genting-genting berjatuhan ke lantai. Sebuah genting menimpa ujung kakiku. Bayangan bebek, babi dan genting menghilang saat kudengar jam seukuran diriku berdentang tiga belas kali. Jam peninggalan ayah yang kuletakkan di salah satu pojok rumah.

 

Kadang aku tertawa mengikuti gerak tokoh-tokoh kartun itu. Akupun melompat ke tiang-tiang rumahku. Melihat aku melompat seekor anjing lucu ikut tertawa dan meminta agar aku mengejarnya. Aku pun mengejarnya. Kami melompat-lompat dari tiang ke tiang, turun ke bawah dan berkejaran di lantai-lantai. Saat ia hampir kutangkap, anjing sembunyi di balik lemari yang sukar kujangkau. Aku mendengar suaranya berkata ayo kejarlah aku. Aku membalasnya iya aku akan mengejar kamu.
Anjing itu tertawa sambil menyembunyikan tubuhnya.

Begitulah hidupku. Berputar-putar di rumahku sendiri. Tak pernah masuk ke kebun itu dan memetik buah di situ. Tapi aku selalu membayangkan kebun itu. Kebun dengan buahnya yang rimbun. Ada sebuah buah yang sangat menarik hati, tergantung di puncak pohon besar di tengah kebun.
Pohon yang elok. Buahnya pastilah manis rasanya. Buah yang bentuknya amat indah dan ada kekuatan yang keluar dari dalamnya, agar aku memetiknya lalu memakannya. Ia amat menggoda tapi kukira ia serupa empedu dalam tubuhku. Aku yakin ia manis seperti empedu, tapi kalau kumakan empeduku akan bekerja dan mungkin melempar tubuhku entah kemana. Karena itu aku lebih suka hidupku di sini. Sehingga aku tak perlu memakan empeduku sendiri.

Pada suatu hari aku tertidur dan bermimpi, tiba-tiba telah berada di depan pohon itu. Pohon itu menjadi mahluk bernyawa menatap ke arahku.
Lama dia menatapku begitu, tanpa kata, seakan orang tua yang menyesali anak-anaknya yang tak berguna. Aku terdiam di depan pohon itu. Mengapa setelah begitu dekat pohon ini tak menarik lagi. Aku masih melihat buah-buahnya berjuntaian, tapi sang pohon seakan enggan. Aku merasa ia ingin aku segera pergi. Tapi buah-buah di pohon itu tak setuju dengan kehendak batangnya sendiri. Mereka memanggilku dengan sayang dan memintaku mengacuhkan saja sang batang. Jangan hiraukan batang kami
tapi petiklah kami sebagai buah yang bisa kamu makan. Cobalah kelezatan tubuh kami dan kelak kau akan tahu betapa lezatnya tubuh kami.

 

 

Di depan pohon itu aku termenung. Aku sudah yakin pohon ini tak menyukai diriku. Aku sendiri merasa aneh di dekatnya. Seakan aku dihinggapi rasa takut yang tua atau rasa kesenangan yang sengsara.
Mungkin aku bisa mengambil kapak dan menebangnya. Setidaknya aku bisa memotong ranting-rantingnya agar ia menjadi batang tanpa tangan.
Gundul seolah vagina yang kehilangan rambut. Aku tidak tahu apa yang menahanku tidak bermain-main dengan menebangnya. Tapi merasa harus cepat-cepat pergi. Tapi aku ingin memenuhi rasa ingin tahuku akan buah itu. Terutama buah yang letaknya di tengah rimbun buah. Buah itu sendirian menjulang di antara tumpukan buah. Kehadirannya di puncak buah itu menjadikannya buah yang menantang langit. Kini hanya ada dirinya sebagai buah dan langit sebagai atapnya.

Aku memanjat pohon itu dan aku merasa kedua tanganku memegang api kayu dari pohon itu. Panasnya menyambar dan merambat ke seluruh tubuhku.
Kukuatkan diriku menghadapi gempuran panas api pohon kayu. Aku naik ke atas dengan tekun. Kadang kadang kalau panasnya sudah tak tertahankan, aku membayangkan buah itu adalah air dingin yang menyiram tubuhku dengan kesegaran. Lelahku naik dibayar dengan nikmatnya meresapkan buah yang segar. Sepadan dengan usahaku merambat naik ke atas puncak pohon.

Aku terus naik sambil menambah kekuatanku dengan mengenang ayah dan ibu. Ayah dan ibu, lihatlah anakmu naik memanjat pohon dan ingin mengambil buah dari pohon. Kelak kalau buah ini kudapat akan kubagi juga dengan kalian. Sehingga kita akan menjadi sasama pemakan buah dari pohon kayu terlarang. Lihatlah ranting-ranting pohon ini sungguh menghalangi tiap upayaku naik ke atas. Di batang induknya aku diserbu panas api pohon kayu, di rantingnya aku ditusuki duri-duri tajam dari ranting pohon kayu.

Tubuhku penuh luka dan darahku membasahi seluruh tubuhku. Aku berhenti sejenak tapi tak hendak turun. Kalau aku harus mati karena naik pohon ini biarlah aku mati di pohon ini. Tak mengapa aku mati di pohon ini.
Toh kelak akupun akan mati di pohon lain. Jadi sama saja bagiku mati sekarang atau mati nanti. Kesadaran ini membuatku membulatkan tekad untuk naik terus. Akhirnya aku hanya perlu menyingkirkan ranting terakhir untuk meraih buah di puncak pohon. Ranting yang disegenap tubuhnya bukan saja mengandung duri tapi api yang merambati segenap badannya. Api itu ranting kayu yang biru. Kupejamkan mataku dan kurambati ranting kayu api yang terakhir itu. Tanganku telah memegang buah itu, dalam upayaku yang nyaris tergelincir karena mendadak sang ranting melemparkan diriku dengan bantuan angin, yang menggoyang
tubuhnya sehingga ia meliuk begitu rupa, membawa tubuhku melambung ke udara. Aku bertahan dalam gempuran ranting api dan gelombang angin, dengan memejamkan mataku dan sambil terus mengulurkan tanganku kepada buah itu. Tanganku mencapai sasarannya dan buah itu kupegang dengan hati-hati. Kini aku memegang jiwaku dengan tanganku sendiri. Benar seperti dugaanku, segala kepayahanku mendadak sirna. Panas yang kurasakan berganti kesegaran yang memabukkan. Tubuhku yang penuh luka
menutup lukanya sendiri. Luka-luka itu tidak berbekas lagi. Aku melihat tubuhku yang segar bugar di atas puncak batang pohon kayu, sambil menggenggam buah kayu dari pohon terlarang.

 

 

Di atasku langit sunyi dan aku memandang ke langit sepi. Aku tidak tahu apa yang mendorongku berkata, seperti aku tidak tahu darimana asal pikiran yang kukatakan. Tapi dari mulutku telah meluncur ucapan yang keluar saja dari jiwaku yang paling dalam: lihatlah tuhan, aku telah menaiki batang dari pohonmu. Lihatlah aku kini tegak dengan batang dan buahmu, menantang langit kosong dari langitmu ini.
Aku terbangun dari mimpi itu dan mimpi itu dengan seluruh gema dan nadanya masih bergetar di jiwaku. Apa yang telah kumimpikan tadi, kataku, mengapa ia telah menggoyang sendi tubuh dan jiwaku. Lama aku terdiam dan tidak bisa berkata-kata memikirkan mimpiku itu.

***

Jembatan itu hanya kupandangi dari kamar atas rumah. Setiap pagi aku memandang ke arah jembatan dia selalu ada di sana. Entah mengapa aku pun mulai membayangkan bahwa jembatan itu adalah pohon kayu itu, yang kini merebah sebagai jembatan. Jembatan di mana orang-orang lalu di atasnya. Dan aku pun senang setiap aku memandangnya, jembatan itu tetap ada di sana. Aku tahu aku tidak mungkin menghapus jembatan itu dalam hidupku. Bahkan aku tidak ingin misalnya, entah oleh sebab apa,
penduduk di sana melenyapkannya dengan jalan merobohkannya.

Bisa dikatakan antara aku dan jembatan itu, telah terbangun hubungan misterius yang aneh. Sering kubayangkan jembatan itu adalah tubuhku sendiri. Diriku yang terbuat dari pohon kayu dan kini telah menjelma jembatan itu. Pohon kayu di mana aku seolah jembatan dan orang-orang melalui tubuhku untuk mencapai tujuan.

Kalau malam hari, muda-mudi menjadikannya tempat untuk memadu hati.
Pernah kudengar suara: andai aku punya uang pastilah kita tidak bertukar hati di sini. Sang perempuan tersenyum mengerti dan memandang lelakinya. Rambutnya yang hitam tumpahan bagi si lelaki. Senyumnya teduh dari tempatku berdiri. Angin membawa lamat-lamat suaranya. Angin yang ingin berkata: sudahlah. Di sini juga cukup. Yang penting kamu setia.

Lama aku memikirkan kata “setia”. Apakah maknanya? Seorang suami harus setia dengan keluarganya. Untuk itu ia harus mencari agar hidup tidak berhenti. Tapi kehidupan bisa berhenti oleh sebab lain dan apakah gunanya kesetiaan? Aku pernah melihat seorang ayah meratap pilu, berharap agar anaknya tidak mati. Tapi anaknya mati dan dokter rumah sakit tidak berdaya mencegah kematiannya. Sang ayah membentur-benturkan kepalanya karena anaknya yang berusia lima tahun kini tidak lagi bernapas. Sebelum ia membenturkan kepalanya, ia masih memandangi anaknya seolah anak itu masih bernapas. Ia membayangkan
hidupnya yang bahagia saat sang anak masih hidup. Tapi kini anak itu telah mati dan kebahagiaannya pun lenyap bersama maut.

Tapi maknanya mungkin sementara. Bagaimana pun semua orang akan mati.
Jadi selagi hidup dia bisa bahagia dengan siapa yang dicintanya.
Sampai salah seorang di antara mereka mati dan cintanya mungkin terkubur bersama. Kalau demikian, apalah arti kehidupan. Harusnya tidak ada yang mati, bukan? Tapi kalau tidak ada yang mati akan ke mana hidup ini? Kita menjadi tua, dan ketuaan bukanlah dunia yang bahagia.

Seekor burung hinggap di jembatan itu. Aku tidak melihat lagi perempuan penjual jamu kecuali sang burung. Burung itu nampak kecil dari tempatku bersandar pada pintu kayu. Seseorang telah lewat di jembatan itu dan kini telah mencapai tujuannya, sedang burung itu mungkin hanya singgah sementara. Mungkin ia lelah terbang dan tubuhnya butuh meregang.

Jembatan itu dengan airnya yang berwarna hitam, mungkin tak menjadi soal bagi si burung. Tapi dari tempatku berdiri, anak sungai di bawah jembatan membawa bau khasnya, di mana penduduknya menciprati anak sungai dengan benda-benda. Sering aku melihat dari atas rumahku, sebuah bungkusan mengapung. Kadang aku meneliti isi bungkusan dengan teropong.

Suatu hari kuambil teropong, karena aku tertarik dengan sebuah bungkusan yang terbawa arus seakan kapal hendak berlabuh. Kapal yang membentur-bentur kolam yang dibuat ayah untukku. Ayah tertawa kalau aku berkata, kapal ini membentur dinding bejana seolah jiwa manusia membentur penciptanya. Aku tidak tahu di mana aku mendapatkan kata-kata itu. Rasanya kata-kata meluncur bagitu saja dari mulutku tanpa aku tahu artinya. Tapi ayah senang mendengar aku mengucapkannya.
Aku pun ikut tertawa karena kukira ayah bahagia.

 

Aku selalu ingin membahagiakan ayahku. Tapi kini ayah telah mati dan aku mengambil teropongku kembali. Aku tidak mungkin bisa melihat penyebab kematian ayah melalui teropong. Entah mengapa aku suka membayangkan seolah aku melihat kematian ayah melalui teropong. Seolah teropongku dapat menembus ke balik dunia. Melihat tiap rencana dan
tindakan dalam dunia.

Kadang aku seolah melihat dari balik lensa, ayah yang menghembuskan
napas terakhirnya. Tangannya terkulai bersama matanya yang meredup.
Ayah memandangku tapi kukira ingatannya juga kepada ibu. Waktu yang
amat sempit itu dipakainya untuk mengingat ibuku. Ayah selalu berkata
bahwa ibu seorang perempuan yang cantik. Andai dia ada bersama kita
kau pasti menyukainya.

Aku tidak pernah bisa membayangkan ibu tapi aku kira ayah benar: lewat
teropongku, aku sering melihat seorang wanita berkebaya dan
kubayangkan dia adalah ibuku. Seorang wanita dengan wajah lembut dan
mata bercahaya. Aku sempat berpikir: ibu begitu sabar tapi mengapa
sampai meninggalkan ayah. Terutama meninggalkanku.

Teropongku tak memiliki jawabnya. Seperti aku tak tahu isi bungkusan
yang kupandangi. Sebuah plastik lusuh dengan huruf-huruf berwarna
merah yang telah memudar. Aku menjenguk ke baliknya. Tanganku memutar
gerigi teropongku agar mataku mendapat fokus yang jelas. Saat aku
sudah bisa memandang dengan jelas, nampaklah di depan mataku
benda-benda kecil di dalam plastik itu. Benda yang membuat aku begitu
kaget karena di sana kulihat barang-barang pribadi milik ayah. Tidak
mungkin mataku salah. Aku yakin apa yang kulihat itu milik ayah.
Sepasang sarung tangan berwarna hitam. Sebuah pisau belati dengan
kedua sisinya yang tajam. Sebuah kitab suci kecil. Serta tiga buah
kondom yang nampak baru saja dipakai.

Aku masih memikirkan barang-barang ayah saat kulihat dengan ekor
mataku, burung kecil itu jatuh dari jembatan. Lalu kulihat dari
seberang seorang anak berdiri dengan ketapel. Aku pun tahu bahwa anak
itu barusan saja membidik si burung. Burung itu jatuh ke tepi tiang
jembatan. Dengan cakarnya ia berusaha agar dirinya tak terjatuh ke
anak sungai. Tiga empat kali ia berhasil menaikkan tubuhnya, walau
tidak stabil, tapi cakar-cakarnya berusaha keras mencengkram besi
jembatan yang bagian-bagiannya kulihat sudah keropos karena karat.
Menyisakan lubang-lubang menganga di bentangan besi. Burung itu
akhirnya terjatuh.

Sukar sekali aku melukiskan matanya saat terjatuh: dari balik lensa
teropongku aku melihat nyawa di mata burung kecil, bergantung pada
cakarnya. Tapi cakarnya tak mampu lagi menyelamatkan nyawanya. Ia
jatuh tepat di bawah jembatan dan hanyut terbawa arus ketepian.

Anak kecil itu menjadi murung. Nampaknya dia menghendaki sang burung.
Di dekatinya tepian itu dan tubuhnya melongok ke bawah. Matanya
pastilah terhalang oleh batu yang sending-sendingnya dipenuhi
lumut-lumut hijau. Anak itu gagal menemukan burung itu, yang terjepit
di antara batu dan sebuah bungkusan plastik yang tersangkut di
batangan ranting, berimpit ujungnya dengan tepian batu.
Aku melihat dari balik teropongku dan berkata, andai tanganmu yang
kecil menjulur dengan sebatang tongkat, pastilah kau akan menemukan
burung itu. Kau tinggal membalik gerimbun itu dan akan kau temukan
burungmu.

Aku bisa meneriakkan semua kata-kataku. Jarak aku dan anak itu hanya
dipisahkan oleh sebatang anak sungai. Pastilah anak itu akan mendengar
seandainya aku berteriak. Sejenak aku mempertimbangkan untuk
benar-benar berteriak. Kalau aku berteriak suaraku pastilah sampai ke
tepian.

Aku berpikir hanya karena pandangan yang salah anak itu tak mampu
menemukan sang burung. Sedang aku berpandangan benar karena dibantu
oleh teropongku dan karena sudut pandangku. Lalu apa salahnya kalau
aku meneriakkan kebenaran sudut pandangku? Tidak ada yang salah,
bukan? Siapa tahu dengan anak itu sang burung malah bisa terawat
dengan baik. Pastilah anak itu tidak akan menjadikan burung sebagai
santapan. Pastilah dia akan pelihara burung itu dengan kasih-sayang.
Tapi mungkin dari sudut pandang burung, betapa pun baik manusia
memeliharanya, dirinya tetaplah terkurung. Sedang dia tak hendak
terkurung. Bukankah burung dibekali sayap dan dengan sayap dia
mengepak-ngepak di udara. Di udara, dia benar benar akan menjadi
burung. Sedang dalam sangkar dia bukanlah burung tapi burung yang
sudah kehilangan sayapnya. Matanya tak bisa melihat luasnya dunia.
Tubuhnya tak bisa merasakan dinginnya angin di atas sana.

 

Ah burung yang baik, harusnya kamu tidak berada di atas jembatan,
sehingga anak itu tidak membidik kamu dengan ketapelnya. Harusnya kamu
segera terbang pulang ke sarangmu di sana.
Di mana sarangmu berada, wahai burung kecil. Tadi kau ada di atas
jembatan itu. Sedang aku di sinilah sarangku. Aku sering merasa
jembatan itu seolah sebatang tubuh yang mati. Dan itu adalah tubuhku
sendiri, yang membujur kaku membentuk jembatan. Tempat di mana
orang-orang menyeberang.

Aku sering merasa aneh saat orang-orang itu melalui tubuhku, yang
terbentang sebagai jembatan. Mereka tidak tahu bahwa diriku menjadi
gabungan besi, yang diaduk pasir dan semen serta batangan-batangan
besi yang bersambungan membentuk selajur pagar. Saat mereka lewat aku
merasa sedih. Bagaimana orang-orang bisa tidak menyadari kehadiranku
di antara mereka. Bukankah kaki mereka yang bersepatu itu
menginjak-nginjak tubuhku? Bahkan suatu ketika berlari-lari di atasnya.

Kadang anak-anak bermain layang-layang sambil menjeritkan kebahagiaan.
Lihat, layanganku terbang. Angin membawanya jauh ke angkasa. Anak-anak
tertawa gembira dan lupa bahwa mereka memasangkan paku kepada tubuhku,
saat seorang di antaranya melepas layangannya dengan seutas benang
yang diikat kepada paku dan pakunya ditancapkan ke tubuhku.

Sebab lapisanku sudah terkelopak aspalnya, lalu tanah kering yang
basah oleh guyuran hujan meninggalkan genangan. Anak-anak
melompat-lompat di atas genangan tubuhku, membuat tubuhku bergetar
karena menahan beban. Kalaulah mereka tahu aku terbaring sebagai
jembatan, barangkali mereka akan berhenti melompat lalu dengan rasa
sayang menegakkan tubuhku. Bukankah tubuhku seperti tubuh mereka, yang
mengenal arti sakit dan senangnya saat bahagia.

Seorang perempuan keluar dari rumahnya dan mengajak anak itu pulang.
Anak itu menangis dan sang ibu membujuknya. “Diamlah. Nanti ayahmu
akan membelikan burung untukmu. “Mereka menghilang ke sebuah rumah
reot di atas sana. Dekat ke jalan raya. Sementara aku masih
menduga-duga apakah isi plastik di dekat burung itu. Burung itu kukira
akan mati. Tubuhnya menggigil. Dan benar: tak lama kemudian kulihat
burung itu tidak bergerak lagi. Punggungnya terbalik dan ia bersandar
dekat plastik yang sedang kuamati. Kembali aku melihat hal yang sama:
plastik yang pernah kulihat waktu itu. Bagaimana plastik itu ada di
sana: plastik itu adalah plastik yang sama yang kulihat dulu. Di
dalamnya barang-barang pribadi milik ayah bisa kulihat dengan jelas.
Tapi kuhitung kondom itu sudah berkurang satu. Tinggal dua kondom
dalam plastik itu. Sementara pisau dan sarung tangan ayah masih ada di
dalamnya. Utuh seperti kitab suci yang kulihat tempo hari.

Hari-hari berganti. Tapi aku tak pernah beranjak dari rumahku ini.
Lagi pula mau kemana? Aku sudah cukup bahagia dengan jembatanku, arus
sungai dan sawah-sawahku. Tempat di mana orang-orang desa seputar
rumahku mengirim padi-padian ke kota.

Aku juga punya burungku. Burung yang setua aku sendiri. Ayah sering
menowelnya waktu aku kecil. Ayah memandikanku sambil sesekali
menjentik burungku. Burung kamu kelak akan membesar. Seperti burung
ayah. Ayah menampakkan burungnya dan aku diminta memegangnya. Kupegang
sedikit. Terasa kenyal.

Ayah meminta agar aku menggoyang-goyang burungnya dan aku pun
menggoyang-gayang burungnya. Coba kamu goyang-goyang burung kamu pula,
kata ayah. Baik ayah, kataku. Lalu kugoyang-goyang burungku. Lalu ayah
berkata, burung kita ini adalah alat untuk meneruskan kehidupan. Tanpa
burung kehidupan akan berhenti. Mengerti, kata ayah. Iya, kataku.
Padahal aku tidak mengerti. Bagaimana sesuatu yang tergantung di bawah
pusarku, yang ukurannya tidak lebih dari kelingkingku, bisa
mendatangkan hidup yang baru. Ayah tertawa. Kamu tidak mengerti,
katanya. Tapi seolah mengerti karena ingin menyenangkan ayahmu ini.

Iya ayah, kataku. Lalu entah mengapa aku teringat ibu. Aku berkata,
ayah, ibu ke mana. Ayah memandangiku, lalu tawa hilang dari wajahnya.

Aku menyesal telah bertanya tentang ibu. Aku tidak ingin melihat
ayahku sedih. Tiap kali tanpa sadar aku bertanya tentang ibu, ayah
terlihat seolah lelaki tanpa daya. Sedang sehari-hari dia begitu teguh
di tepi jalannya.

Aku tahu jalan ayah sering terantuk batu. Hidup bagi ayah adalah
mencari jalannya sendiri. Carilah jalanmu, kata ayah. Sebuah jalan
nampak lurus bagi kebanyakan orang, tapi tidak lurus bagi mereka yang
mencari tepinya. Kau tahu apa tepinya itu? Itulah jalan yang kita
renungi dengan tubuh dan jiwa. Sehingga misterinya datang. Lalu ayah
mengajakku melalui jembatan. Saat aku melangkahkan kakiku, aku mencoba
apa yang dikatakan ayah. Inilah jembatan yang sering kupandangi dari
jendela kamar. Di mana tiap orang melaluinya. Semuanya kelihatan
begitu mudah. Tapi aku ingin mencari tepi jalan ini. Aku ingin dia
datang padaku seperti yang dikatakan ayahku. Kubuka jiwaku dan
kuserahkan diriku pada jalan itu. Lalu aku merasa ada sesuatu yang
menarikku. Tenaganya begitu besar, mengisapku dari tenaga pusaran yang
datang dari jembatan. Meleburku ke dalam kekuatannya sendiri. Tubuhku
berkeringat dan ayah meraih tubuhku yang penuh dengan keringat. Aku
terserang demam dan keringat itu membasahi seluruh tubuhku.

Ayah menatapku. Matanya bersinar aneh di atas jembatan itu. Aku seakan
bukan melihat ayahku lagi. Ayah telah menjadi orang lain yang tak
pernah kukenal. Orang lain yang berambut putih dan nampak begitu perkasa.

 

 

Tubuh itu memintaku meneruskan langkahku, mengiringi dirinya yang
menuntun tanganku berjalan di atas jembatan. Aku pun berjalan.
Melangkahkan kaki kanan. Langkah keduaku di atas jembatan. Saat kakiku
menjejak ke tubuh jembatan, saat itulah kurasakan diriku diisap oleh
kekuatan yang aku tak bisa lagi menolaknya. Sampai aku mengapung di
udara. Berpegang dengan ayah yang memakukan kakinya ke atas kayu-kayu.
Ayah seperti hantu di tengah jembatan itu. rambutnya yang panjang dan
selalu menutupi wajahku kalau ayah memelukku, mendadak menegang,
membentuk helai-helai dari panah-panah api yang siap membalik ke
langit sunyi.

Ayah menggelengkan kepalanya, seolah kepala ayah adalah tali busur,
dan dalam upayanya menembak langit, ia melepaskan rambutnya, sehingga
panah-panah api serentak menyerbu ke arah langit. Memutus apa saja
yang datang dari langit. Tubuhku pun kembali di samping ayahku. Lalu
kudengar suara dari hidup yang terputus. Semacam doa. Doa yang entah
bagaimana kurasakan sebagai kalimat pertama di dunia. Yang mengajari
tentang nama-nama benda.

Aku berpikir bagaimana dari sebuah pergulatan tiba-tiba menjadi
semacam wejangan. Jelas kekuatan itu telah diputuskan tangannya oleh
panah api ayahku. Tapi mengapa kini kudengar malah untaian kata-kata
yang isinya tentang nasib dunia. Di mana dosa dan pengampunan berjalan
bersama-sama. Dosa siapa dan pengampunan siapa. Apakah suara yang
kudengar itu.

Sejenak aku ragu telah mendengar suara itu. Dari dalam jiwaku timbul
kekuatan yang hendak memberontak terhadap suara itu. Tapi makin kuat
aku mengerahkan tenaga untuk menolaknya, makin kuat pula gelombang
suara yang seperti gumam dalam nadanya.

Kuputuskan untuk mendengar suara itu. Siapa tahu ada hikmahnya. Kita
tidak boleh menolak sesuatu sebelum membuktikan sesuatu, begitulah
kata ayah. Dan aku ingin membuktikan suara itu. Setidaknya menegaskan
memang ada suara dan suara itu seperti yang didengar oleh jiwaku. Tapi
suara itu tak kembali lagi. Telingaku hanya mendengar sebentuk sepi.
Sepi dari gurun salju yang memutih dan terbentang tak berkesudahan.
Untuk terakhir kalinya aku mengerahkan tenaga untuk mendengarnya. Tapi
ia benar-benar telah menghilang dan lenyap dari mata jiwaku.

Lalu aku terjerembab di atas jembatan dengan tubuh biru-legam. Ayah
mengangkat tubuhku seakan mengangkat seseorang yang telah mati. Dia
berbalik arah dan membawa tubuhku kembali ke rumah

 

 

 

 

 

TERSERAH KAMU SAJA

he.he..

Date: 16/08/2011 | By: guru satap

mantabs Prof...

ngintip

Date: 06/07/2011 | By: Nuzul Kurniawan

Selalu segar membaca tulisan-tulisanmu pak huhi

mampir........

Date: 24/04/2010 | By: rendra nesya raya

karya nya bagus-bagus ......

singgah

Date: 10/09/2009 | By: denny

Bang Hud, aku singgah ya..

sip

Date: 05/09/2009 | By: kwek Li Na

duh...mantap.

aku suka rumah dan bacaan di sini.

Wah ?!

Date: 04/09/2009 | By: Sarah Syafirah

Pak Hudan ... Nie Kumpulan bacaan yg bener2 biqin Aq betah, dech !

Makacie, Yach ?

tar Aq Lahap cmwnya dech !

Sip SIp
Cheerz

New comment


the FINAL THEORY - JURNAL SASTRA TUHAN HUDAN