Hallo, saya bernama Hudan Hidayat. Esais dan Novelis. Tinggal di Jakarta. Kini mengelola "Sesudah sastra - Jurnal Sastratuhan Hudan"

 

 

 "Sesudah Sastra - Jurnal Sastratuhan Hudan"

 



yaitu sebuah media yang menyediakan diri untuk sebuah permainan wacana dalam sastra, di mana tokoh sastra indonesia dan dunia diletakkan ke dalam tingkatan yang sama dengan mereka yang menggeluti sastra. bahwa dalam sastra orang berhak mendapatkan tempatnya yang sama
 


- suatu renungan untuk Jurnal Sastratuhan Hudan

Hudan Hidayat

 


kami di jurnal sastra tuhan hudan, sudah menyelesaikan persoalan persoalan sekat dalam bahasa, sekat geografis, sekat ideologis, sekat juga dalam agama agama. bagi kami itu hanyalah suatu cara tumbuh, suatu lingkungan budaya dan kebudayaan berkembang, bukan suatu yang membuat, di mana kemanusiaan tampil dalam dikotomik, apalagi lebur sebagai suatu cara hidup dengan ancang ancang untuk mematikan. kami telah selesaikan semua itu dengan hadir dan menghadirkan tiap kenyataan, sebagai warga manusia di bumi, bersama entitas entitas lain seperti yang kita kenal: alam dan tumbuhannya, alam dan kekayaan aneka satwanya. semua itu menunjukkan wajah yang sama juga. wajah suatu sistem bio kehidupan itu sendiri, yang bersenyawa dalam suatu kerja sama di antaranya, langsung atau tak langsung.

seandainya kami oleh suatu kesempatan dalam hidup, berkenalan dengan kawan dari malaysia, dari brunai, dari singapura, atau dari jerman, atau kanada, atau belanda, maka itu adalah suatu kenyataan dalam tiap kemungkinan, dan itu baik. kita tentu akan mengambil titik titik produktif, dan kreatif, dari tiap kesempatan berelasi dan berinteraksi seperti itu. begitu juga seandainya terdorong oleh medium dan watak medium, katakanlah medium maya facebook, atau maya lain seperti milis apresiasi sastra, art culture indonesia, milis jurnal perempuan, forum pembaca kompas, psikologi transformatif, atau bahkan multiply tempat saya lama berkecimpung dengan naskah naskah sastra di sana, dengan pergaulan sastra di sana, yang kawan kawan saya seperti cavita jamie, atau ridha dan armelia, maria ardana atau erna langit; atau bahkan kalau kita acukan kepada media cetak lain seperti koran yang banyak memuat ruang ruang budaya, maka semua relasi itu adalah suatu titik titik di mana kita bisa saling memperkuat diri, demi dan untuk kemajuan dari bidang yang kita hidupi bersama. bidang sastra. sebagai suatu bidang dari bidang bidang lain dalam hidup.

kami kira dunia ini adalah teks yang maha besar, di mana di atasnya tumbuh dan dibangun teks teks turunannya. karena itu kami beranggapan, dunia sebagai teks pertama, untuk kemudian dicobadilahirkan teks kedua yakni kehidupan itu sendiri, dan kelak orang akan merefleksikannya, dalam suatu bahasa yang kami anggap suatu permainan, di mana manusia bermain dengan bahasa di dalamnya. melahirkan teks ketiga, dalam bahasa seni kreatif mungkin berupa prosa atau puisi. teks ketiga yang harus kita dorong dalam suatu apresiasi - kami tidak menyebutnya sebagai kritik, kritik sastra, untuk suatu argumentasi dan cara kami memandang kehidupan: sangat mungkin tak ada hak moral manusia untuk melakukan kritik atas kehidupan yang terberi ini, yang taken for granted ada dan kita terima langsung dari sang maha besar itu: tuhan, atau apalah suatu nama yang hendak kita lekatkan padanya. kehidupan di mana di dalamnya memuat suatu hal yang baru, yakni sastra atau bahasa itu sendiri.

dalam posisi seperti itulah, kami memandang, atau beranggapan, untuk saling menumbuhkan diri di antara berbagai teks teks itu, di mana muara dan pusat pertama teks adalah dunia itu sendiri, sebagai teks pertama tempat pengarang mengambil, dan membentuk, teks ketiganya atas teks kedua yakni geliat tiap mahluk, tiap benda, tiap peristiwa di atas dunia. seperti yang baru saja diperagakan oleh penyair jehan syauqi yang puisinya adalah puisi pertama yang saya baca pagi ini. sebagai suatu cara manusai merefleksikan teks pertama dan teks kedua, dengan melahirkan teks ketiga yakni puisi itu sendiri.

kini kita membutuhkan teks keempat, untuk menghidupi ketiga teks itu, untuk tumbuh dan lebur ke dalam ketiga teks itu. teks ke empat yang kelak akan disusul oleh nominal teks teks lainnya - sangat mungkin interaksi antar-teks dalam hidup. dan begitulah hidup bergulir dan berkembang, hidup yang dinamik di mana di atasnya tumbuh dan berkembang tanpa henti, teks teks atas hidup, teks teks kehidupan itu sendiri.

kita bisa membuang dan mengganti kata “teks” ini, ke dalam ucapan dan sebutan yang lain. asik sajak. dan boleh saja. menjadi suatu sebutan yang kita ciptakan sendiri. asik saja. boleh saja. dan dengan begitulah kita mencoba ikut menumbuhkan dan menghidupkan tiap kemungkinan sebutan - konsep itu, atau kelak mungkin teori itu. dan dengan begitulah kita mencoba merayakan kehidupan itu sendiri. menciptakan suatu kebebasan dari tiap suara. menciptakan demokrasi atas dan untuk teks teks.

tak ada teks yang baru, tak ada teks yang lama. tak ada sastra yang baru dan tak ada sastra yang lama. semua bisa menjadi baru dan semua bisa menjadi lama. apakah artinya, untuk suatu penerbitan jurnal sastra tuhan hudan? bahwa kita hendak mencari cara baru: bahwa jurnal sastra tuhan hudan yang akan terbit dengan cetakan dan akan beredar luas ke tengah masyarakat luas itu, masyarakat dalam negeri dan sekuat dan sebisanya, entah cetak entah maya, akan kita upayakan juga menembus dan sampai ke masyarakat mancanegara, setidaknya kantong kantong budaya yang mengamati sastra dan bahasa indonesia, agar apa yang menjadi cita cita yang kita idamkan bersama, bahwa sastra indonesia harus hadir di tengah tengah sastra dunia, tapi hadir dalam bahasa ibunya sendiri, bukan dalam suatu terjemahan, bisa kita capai. setidaknya niat kita bulat untuk mengarah ke situ.

bagaimanakah cara baru itu? adalah menjadi pendirian kami, bahwa walau hadir dalam bentuk cetakan, jurnal sastra tuhan hudan sungguh mengimani suatu teks sastra, yang telah terbit di maya atau cetakan lain di media massa, boleh dan sangat berhak tampil di jurnal sastra tuhan hudan. tentu saja jurnal ini akan pro aktif menunggu kiriman dari para sastrawan, tapi dia bisa menyelinap dan langsung mengambil suatu teks yang telah tayang di maya, tanpa harus minta izin terlebih dahulu dengan pengarangnya. sebab bagi kami, suatu teks yang telah ditayangkan, adalah suatu hak publik atas teks itu. sebab bagi kami, mengapa kita harus ribet dengan urusan tiap birokrasi media, kalau niat seseorang melakukan penulisan untuk diketahui dan dibaca publik luas. sebab bagi kami, diri kita, bukanlah milik kita sendiri, tapi ada hak juga orang lain atas diri kita itu. apalagi diri dalam pentas publik melalui media massa cetak dan maya ini. sebab bagi kami, sastra itu sungguh sepi dan kesepian, dan mengapa lalu kita berkutat atas birokrasi seni yang kita ciptakan.

itulah pendirian kami dan semoga tidak ada benturan di lapangan kelak. karena tentu saja, kita akan mencoba mengontak para pengarangnya, untuk meminta izin terbit, tapi kalau komunikasi tidak bisa dilakukan, maka kami akan menerabas semua itu demi dan untuk sastra itu sendiri.

salah satu ciri penting yang hendak kami bangun dalam tiap edisi terbitan jurnal sastra tuhan hudan ini, adalah mengapresiasi tiap seni yang ada di sana, kecuali laporan perjalanan, atau resensi budaya itu - ini kita biarkan hadir tanpa suatu apresiasi, kecuali ada yang amat sangat istimewa di sana, yang terutama berkaitan langsung dengan sastra.

sebab kami hendak merayakan kehidupan sastra yang terpencil itu, dengan cara pertama adalah mendekatinya secara pendekatan apresiasional. bila mungkin, apa yang telah kita hadirkan itu, akan kita rayakan juga dalam bentuk lain, yakni pemunculannya langsung di panggung. semua itu mungkin bisa terjadi, tegantung dan terpulanglah kelak dengan waktu, tenaga, dan tentu saja: uang.

kita harus bekerja dengan realistis, tapi kita juga jangan karena realitas lalu mematikan idealitas. pelan pelan saja, tapi pasti adanya.

demikianlah pendirian kami ini, suatu pendirian yang sederhana, dan nampak seakan mengabaikan banyak hal, atau konvensi yang mungkin telah menjadi suatu tradisi penerbitan. tap kami kira itu benar: kalau tiap orang ingin melakukan komunikasi, lalu mengapa pula kita meribetkan segala aturan yang terjelma ke dalam konvensi yang sesungguhnya, setahu kami, tidak atau belum ada aturannya (tidak ada undang undang yang mengatakan bahwa setelah suatu cerpen terbit, tidak boleh diterbitkan di media lain).

salam salam salam.
salam damai.

pemimpin redaksi jurnal sastra tuhan hudan

hudan dan sisca

articles

HUDAN HIDAYAT DALAM SEMINAR BANDINGAN DI MALAYSIA

13/08/2009 03:02
makalah hudan hidayat - seminar sastra bandingan di malaysia hudanhidayat Fri, 03 Apr 2009 23:03:23 -0700 (angkatan sastra sesudah 2000) Relijiusitas yang datang dari dunia profan dalam karya pengarang perempuan muslimah oleh hudan hidayat* makalah kedua untuk seminar kepengarangan...

HUDAN HIDAYAT TENTANG WAJAH BULAN

13/08/2009 02:30
wajah bulan     Hudan Hidayat Thu, 25 Sep 2008 10:33:08 -0700 Wajah Bulan Cerpen Hudan Hidayat Silakan Simak! (Dimuat di Jawa Pos Silakan Kunjungi Situsnya! 03/18/2007 Telah Disimak 501 kali) Aku menatap malam berbintang. Di lintasan langit kulihat wajahnya. Kukejapkan mataku....

TUAN KOSONG TENTANG NONA KOSONG

13/08/2009 02:25
mariana amiruddin - pengarang novel tuan dan nona kosong hudanhidayat Thu, 05 Feb 2009 19:48:05 -0800     pengarang novel tuan dan nona kosong: mariana amiruddin mariana, kawan kita fadjroel sering mengutip rimbou: pertarungan jiwa sama brutalnya dengan pertarungan di medan tempur...

lanjutan esai hudan hidayat - seminar sastra bandingan di malaysia

13/08/2009 02:15
lanjutan esai hudan hidayat - seminar sastra bandingan di malaysia hudanhidayat Sat, 04 Apr 2009 07:38:20 -0700 juga dengan puisi yang ditulis oleh giebran. Tetapi berbeda dengan penyair blalang yang melihat sudut kebebasan berpikir dalam bingkai ide ide, ide tentang penafsiran sebuah nilai...

MENYAMBUT ONTOLOGI UU PORNOGRAFI - DUNIA CERPEN SOE TJEN

11/08/2009 15:38
menyambut ontologi uu pornografi - dunia cerpen soe tjen Dec 3, '08 4:47 AM for everyone   Kemungkinan realitas dunia fiksi menguakkan realitas dunia fakta, bisa kita lakukan pengujian dengan jalan melihat...

FILSUF JAWA : NURUDDIN ASYHADIE MEMBUAT SAJAK CULUN UNTUK HUDAN

11/08/2009 13:54
filsuf jawa : nurruddin asyhadie : sajak culun untuk hudan sajalah Sep 21, '08 1:41 AM for everyone Adakah pukul 00 itu? Tidakkah waktu tak berjalan walau hari masuk ke tubir malam? Bergulir ke dalam...

puisi-puisi bla untuk hh

11/08/2009 13:49
puisi puisi bla untuk hh Sep 22, '08 1:51 AM for everyone Nabi Kata : buat Hudan Hidayat Telah kutandangi banyak pengajian. Aku selalu kebagian ujung tikar paling belakang. Mulut-mulut itu maulana-maulana. Entah...

Jurnal Sastratuhan Hudan

11/08/2009 10:21
Jurnal Sastratuhan Hudan seorang kawan berulang tahun, mukim di amerika. baru saja kami mengadakan kontak telpon dan dia bilang: kemarin aku melihat wajahmu, dan kamu lupa aku berulang tahun. jadi aku diam saja. kata kata itu seolah penyengat sampai kepadaku. aku tercekat dan bilang: iya amnestia....

SAYA dan SASTRA INDONESIA - SAYA dan SASTRA DUNIA


hudanhidayat

 


(1) saya dan sastra indonesia


sastra indonesia tak hendak lepas dari otak saya. juga sastra dunia. hidup saya
untuk sastra. napas dan seluruh gerak saya untuk sastra.

pagi saya bangun saya langsung menulis, atau membaca. sampai siang. istirahat
saya ambil di sela selanya saja. begitulah hidup yang jalani saban hari: pagi,
siang, malam dan tengah malam serta dini hari - hanya sastra saja yang saya
akrabi. sambil sesekali melakukan onani.

dulu sebelum masuk ke maya saya sudah membaca sastra indonesia dalam bentuk
buku, koran atau majalah serta jurnal dan buletin. kini saya gabung jadi satu:
cetak dan maya. dua duanya saya baca dengan tekun. sehingga kerap saya hapal di
mana sebuah puisi di letakkan dalam buku seorang penyair. atau sebuah cerpen
atau esai.

saya juga hapal dan tahu persis ucapan atau pikiran penting dari tiap novel
indonesia. begitulah saya bermain dengan sastra itu. dalam dunia sunyi dan
seorang diri.

kini saya tak bisa lagi sunyi dan sendiri. atau saya bisa bersunyi di tengah
orang ramai. menulis dan membaca bersama orang ramai. dan itu suatu niscaya.
kita tinggal pandai mengambil jarak untuk menjaga kesunyian hati kita sendiri.
sambil menatapi juga hati orang lain.

pada sastra ada kekuatan pengubah yang luar biasa, yang seakan api bisa
membakar dan menerangi suatu kegelapan. atau menyalakan suatu mesin mobil yang
mogok dan pastilah mobil itu kini bisa berlari karena mesinnya telah menyala.

tak saya peluk dengan egois sastra itu. tapi kita demokratiskan: terserah
kepada orang kelak apakah dia menjadikan kegiatan membaca dan menulis yang
membentuk pribadinya itu, untuk terus menekuni dunia sastra, atau berbelok ke
bidang bidang hidup yang lain.

padanya yang begitu menyehatkan. kita terasing tapi sekaligus berbaur bersama
kehidupan. kita terasing karena kita lahir sendirian. kita mati pun sendirian.
di selanya kita berbaur bersama orang lain.

saya ingin menjadikan sastra bukan sebagai kesenangan pribadi belaka, tapi
menyambarkan juga kegembiraan dan harapan kepada orang lain - orang banyak yang
suka sastra, juga orang banyak yang tak suka sastra atau belum suka sastra.

mereka yang pandai memetik manfaatnya akan terasa bahwa melalui sastra ia akan
jadi lebih rasional - bukankah tanpa rasionalitas sastra tidak bisa tercipta?

rasionalitas semacam itulah yang dibutuhkan oleh bangsa ini. yakni rasionalitas
di mana ia mendayakan kemampuannya sebagai pengolah alam di mana dia tinggal,
melalui kegiatan membaca dan menuliskan alam di mana dia tinggal itu sendiri.

jadi dari kegiatan membaca dan menulis sastra, bisa seolah menjadi pintu masuk
belaka untuk hadirnya sebuah potensi lain dari manusia dan kini ia mewujudkan
potensinya itu ke dalam realitas sehari hari.

tentu saja saya terlalu melebih lebihkan tentang manfaat sastra ini, dengan
mengatakan dia bisa sebagai kekuatan pengubah. karena pada kenyataannya, saya
juga percaya tak ada apapun yang diubah dalam hidup ini. saya terlalu dalam
percaya bahwa tiap orang menyandang nasibnya sendiri. juga suatu bangsa
menyandang nasibnya sendiri.

berubah atau tak berubah, itu adalah suatu tatanan dari tiap orang atau tiap
bangsa. bahwa memang di sanalah ia atau mereka sedang berada.

bahwa orang berupaya atau malah diam sama sekali, semuanya ada dalam tingkatan
nasib yang terberi itu.

tapi memang tak ada jalan lain lagi: bahwa suatu kenyataan ada perubahan bila
orang ingin berbenah; tapi adalah suatu kenyataan pula orang setengah mati
berbenah tapi sering pulang tanpa membawa suatu apapun di tangannya.

pada keduanya saya meletakkan sastra itu: suara bahagia dan suara bermuram
durja.

semua sah bagi saya dan semua nyata bagi saya. seperti nyatanya ada orang baik
dan ada orang jahat dalam hidup ini.

sastra hendak memotret semua itu, ke dalam cerita yang dibentukkannya atas
bahagia dan sakitnya pengarangnya sendiri.

bravo sastra indonesia dan bravo juga sastra dunia. mari kita mencapai suatu
horison terjauh yan mungkin bisa dicapai oleh tiap manusia di bumi. dengan
bekerja sekeras kerasnya dan dengan mengatupkan rahang kita sekuat kuatnya.

telah kukatupkan rahangku dan aku pun berharap begitu kepadamu.


the FINAL THEORY - JURNAL SASTRA TUHAN HUDAN