tribute to camus - sartre - hudan




naskah pertama

TRIBUTE TO ALBERT CAMUS
By Jean-Paul Sartre

FROM CAMUS: A COLLECTION OF CRITICAL ESSAYS

Edited by Germaine Bree.
182 pages
Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, Inc., 1962.

Pages 173-175
Tribute to Albert Camus
by Jean-Paul Sartre

Six months ago, even yesterday, people wondered: "What is he going to do?" Temporarily, torn by contradictions that must be respected, he had chosen silence. But he was one of those rare men we can well afford to wait for, because they are slow to choose and remain faithful to their choice. Some day he would speak out. We could not even have dared hazard a guess as to what he might say. But we thought that he had changed with the world as we all do; that was enough for us to be aware of his presence.

He and I had quarreled. A quarrel doesn't matter -- even if those who quarrel never see each other again -- just another way of living together without losing sight of one another in the narrow little world that is allotted us. It didn't. keep me from thinking of him, from feeling that his eyes were on the book or newspaper I was reading and wondering: "What does he think of it? What does he think of it at this moment?"

His silence, which according to events and my mood I considered sometimes too cautious and sometimes painful, was a quality of every day like heat or light, but it was human. We lived with or against his thought as it was revealed to us in his books-especially The Fall, perhaps the finest and least understood-but always in relation to it. It was an exceptional adventure of our culture, a movement of which we tried to guess the phases and the final outcome.

He represented in our time the latest example of that long line of moralistes whose works constitute perhaps the most original element in French letters. His obstinate humanism, narrow and pure, austere and sensual, waged an uncertain war against the massive and formless events of the time. But on the other hand through his dogged rejections he reaffirmed, at the heart of our epoch, against the Machiavellians and against the Idol of realism, the existence of the moral issue.

In a way, he was that resolute affirmation. Anyone who read or reflected encountered the human values he held in his fist; he questioned the political act. One had to avoid him or fight him-he was indispensable to that tension which makes intellectual life what it is. His very silence, these last few years, had something positive about it: This Descartes of the Absurd refused to leave the safe ground of morality and venture on the uncertain paths of practicality. We sensed this and we also sensed the conflicts he kept hidden, for ethics, taken alone, both requires and condemns revolt.

We were waiting; we had to wait; we had to know. Whatever he did or decided subsequently, Camus would never have ceased to be one of the chief forces of our cultural activity or to represent in his way the history of France and of this century. But we should probably have known and understood his itinerary. He said so himself: "My work lies ahead." Now it is over. The particular scandal of his death is the abolition of the human order by the inhuman.

The human order is still but a disorder: it is unjust and precarious; it involves killing, and dying of hunger; but at least it is founded, maintained, or resisted by men. In that order Camus had to live. That man on the move questioned us, was himself a question seeking its reply; he lived in the middle of a long life; for us, for him, for the men who maintain order and for those who reject it, it was important for him to break his silence, for him to decide, for him to conclude. Some die in old age while others, forever on reprieve, may die at any minute without the meaning of their life, of life itself, being changed. But for us, uncertain without a compass, our best men had to reach the end of the tunnel. Rarely have the nature of a man's work and the conditions of the historical moment so clearly demanded that a writer go on living.

I call the accident that killed Camus a scandal because it suddenly projects into the center of our human world the absurdity of our most fundamental needs. At the age of twenty, Camus, suddenly afflicted with a malady that upset his whole life, discovered the Absurd-the senseless negation of man. He became accustomed to it, he thought out his unbearable condition, he came through. And yet one is tempted to think that only his first works tell the truth about his life, since that invalid once cured is annihilated by an unexpected death from the outside.

The Absurd might be that question that no one will ask him now, that he will ask no one, that silence that is not even a silence now, that is absolutely nothing now.

I don't think so. The moment it appears, the inhuman becomes a part of the human. Every life that is cut off-even the life of so young a man -is at one and the same time a phonograph record that is broken and a complete life. For all those who loved him, there is an unbearable absurdity in that death. But we shall have to learn to see that mutilated work as a total work. Insofar as Camus's humanism contains a human attitude toward the death that was to take him by surprise, insofar as his proud and pure quest for happiness implied and called for the inhuman necessity of dying, we shall recognize in that work and in the life that is inseparable from it the pure and victorious attempt of one man to snatch every instant of his existence from his future death.

"Tribute to Albert Camus."

From The Reporter Magazine, February 4, 1960, p. 34. Copyright 1960 by The Reporter Magazine Company. Translated by Justin O'Brien. Reprinted by permission of the author and The Reporter Magazine.


naskah kedua

"Tribute to Albert Camus."
by sartre

Enam bulan lalu, bahkan hingga kemarin, orang masih bertanya-tanya: "Apa yang akan dia lakukan?" Untuk sementara waktu, terbelah karena kontradiksi-kontradiksi yang harus dihormati, dia memilih diam. Tetapi dia adalah salah satu dari orang-orang langka yang pantas kita tunggu, karena orang-orang ini memang lambat dalam membuat pilihan, namun setia kepada pilihan mereka. Di satu hari nanti mereka akan bicara. Bahkan kita tidak berani berspekulasi untuk menduga apa yang mungkin akan dia katakan. Namun diapun akan berubah seiring perjalanan dunia seperti halnya kita; itu saja sudah cukup bagi kita untuk menyadari kehadirannya.

Dia dan saya berselisih pendapat. Perselisihan bukanlah masalah - sekalipun mereka yang berselisih itu tidak pernah bertemu satu sama lain - hal itu hanyalah salah satu cara sehingga kita tidak kehilangan atas kehadiran satu sama lain dalam kehidupan bersama di bagian permukaan bumi yang sempit yang diperuntukkan bagi kita. Hal itu tidak menjauhkan pikiran saya darinya, dari perasaan bahwa matanya mengikuti semua buku atau surat kabar yang sedang saya baca, dan bertanya : "Apakah yang ia pikirkan tentang hal itu ? Apa yang sedang dia pikirkan tentang itu ?"

sejalan dengan peristiwa2 dan suasana hati yang kadang-kadang saya anggap terlalu berhati-hati dan kadang-kadang penuh dengan kesakitan, adalah suatu kualitas dari setiap harinya seperti panas atau cahaya, namun begitu manusiawi. Kita telah hidup bersama pemikirannya ataupun menentang pemikirannya yang telah dinyatakan dalam buku2nya -khususnya The Fall, mungkin adalah yang terbaik namun paling sedikit dipahami- namun selalu dalam kaitannya dengan hal itu. Hal itu merupakan suatu petualangan luar biasa dalam kebudayaan kita, sebuah pergerakan yang darinya kita mencoba menebak tahap2annya serta hasil akhirnya.

Dari barisan panjang hasil karya para moralis, karyanya merupakan contoh terkini, yang barangkali mengandung unsur paling orisinil ditulis dalam bahasa Perancis. Ketegaran kemanusiawiannya, terbatas dan murni, sederhana namun sensual, yang mencetuskan pertarungan yang tidak jelas dalam melawan kejadian2 umum dan tidak berpola. Namun di sisi lain dengan sikap penolakan kerasnya dia menegaskan keberadaan masalah moral, dan melawan sikap Machiavellians dan pengagungan atas paham realis di zaman itu.

Secara langsung dapat dikatakan, dia teguh pada pendiriannya. Siapa saja yang membaca atau merenungkan tulisannya menemukan nilai2 kemanusiaan yang dipegangnya teguh ; dia mempertanyakan tindak2 politik. Seseorang harus menghindar atau melawannya -dan dia sendiri tidak menolak ketegangan2 yang sering timbul dalam kehidupan intelektual. Sikapnya yang memilih diam, terakhir kemudian, membawa hal positif : Descartes yang tidak masuk akal itu, menolak meninggalkan batasan aman moralitas dan masuk ke dalam wilayah praktis yang tidak jelas. Kita merasakan hal ini, juga konflik yang disembunyikannya, semata2 hanya karena faktor etis, yang menuntut sekaligus mengutuk pemberontakan.

Kita telah menunggu ; kita harus terus menunggu ; kita harus tahu. Apapun yang dikerjakan atau diputuskan kemudian, Camus tidak akan berhenti menjadi salah satu kekuatan utama dari kegiatan kebudayaan kami atau mempersembahkan dengan caranya sendiri sejarah Perancis dan abad ini. Namun kita seharusnya juga mengetahui dan mengerti rencana perjalanannya. Dia telah berkata sendiri : "Hasil karya saya berada di depan." Sekarang semuanya telah berakhir. Skandal khusus kematiannya merupakan pemusnahan keteraturan kemanusiaan oleh hal yang melampaui sifat kemanusiaan.

Aturan kemanusiaan tidak lain masih merupakan suatu ketidak-aturan : yang tidak adil dan tidak pasti ; melibatkan pembunuhan, dan kematian karena kelaparan ; namun setidaknya hal itu telah ditemukan, dijaga, dan dilawan manusia. Dalam aturan seperti itu, Camus harus hidup. Camus yang sedang bertanya pada kita, dirinya sendiri adalah suatu pertanyaan yang mencari jawabannya sendiri ; ia hidup di dalam kehidupan itu sendiri yang panjang ; untuk kita, untuk dia, untuk orang-orang yang mempertahankan keteraturan dan juga bagi mereka yang menolaknya, sangat penting baginya untuk memecahkan keterdiamannya, untuk memilih, lalu menyimpulkan. Beberapa orang mati karena umur yang sudah tua, sementara yang lain berada pada penantian atas penghukuman yang tanpa akhir, akan mati sewaktu2 tanpa memahami arti hidup mereka, arti dari hidup itu sendiri, yang berubah2. Tetapi untuk kita, yang tidak punya kepastian karena tanpa pedoman, yang terbaik adalah mencapai akhir terowongan itu. Secara alamiah tidak pernah hasil karya seseorang atau situasi sejarah secara jelas menuntut bahwa penulisnya harus terus hidup.

Saya menyebut kejadian yang membunuh Camus sebuah skandal karena kejadian itu tiba2 meletakkan tepat di tengah kehidupan manusiawi kita kemustahilan dari kebutuhan mendasar kita. Pada usianya yang ke-duapuluh, Camus, tiba-tiba terserang penyakit yang mengganggu seluruh kehidupannya, menemukan kemustahilan- suatu penolakan dingin atas diri manusia. Ia membiasakan dirinya dengan hal itu, merenungkan kondisinya yang tak tertahankan, dan berhasil melaluinya. Dan masih saja ada yang berpendapat bahwa hasil2 karya Camus yang pertama2 sajalah yang menceritakan kehidupannya yang sebenarnya, terutama sejak kesembuhan Camus dimusnahkan dengan kematian yang tak terduga datang dari luar.

Kenihilan barangkali adalah pertanyaan itu sendiri yang sekarang tidak akan ditanyakan lagi oleh siapapun, yang juga tidak akan ditanyakannya sendiri kepada siapapun, keheningan yang bahkan bukan lagi keheningan sekarang, yang bahkan sekarang benar-benar tidak merupakan suatu hal apapun lagi.

Saya sendiri tidak berpikiran demikian. Saat hal itu muncul, hal yang melampaui kemanusiaan menjadi bagian dari kemanusiaan itu sendiri. Setiap kehidupan yang telah diputuskan -bahkan sekalipun kehidupan dari seseorang yang masih sangat muda- pada satu dan waktu yang sama seperti sebuah piringan hitam yang rusak namun merupakan kehidupan yang utuh dan lengkap. Karena bagi siapapun yang mengasihi orang itu, ada sesuatu hal yang melampaui pengertian kemanusiaan yang tak tertahankan dalam kematian itu. Namun kita harus belajar untuk melihat bahwa sebuah karya yang terputus adalah sebuah hasil karya yang tuntas. Sejauh ini ajaran kemanusiaan Camus mencakup tindak manusiawi atas kematian yang mengejutkannya, suatu keangkuhan dan perjuangan murni yang diterapkan untuk menjadi bahagia hingga memanggil kebutuhan yang melampaui kemanusiaan kita untuk perlunya kematian, kita kemudian akan mengenal dalam karya dan kehidupan yang keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, suatu usaha yang murni dan yang mencoba menang dari seorang manusia untuk merebut setiap kesempatan keberadaannya dari kematiannya di masa depan.


naskah ketiga

Tribute To Sartre, Camus & Hudan
by sisca

Tesis utama pemikiran Albert Camus adalah bahwa kehidupan itu absurd. Absurditas adalah fakta eksistensial hidup ini. Pemikiran ini lahir bertolak dari kenyataan yang dihadapi Camus dalam hidupnya, yaitu PD II, wabah penyakit, penderitaan dan kelaparan di mana-mana. Camus meratapi ini semua. Akal budi yang diagung-agungkan sejak Abad Pencerahan serta agama sekalipun, dinilai tidak berhasil menjawab semuanya itu. Tuhan Yang Mahakuasa tidak berbuat apa-apa untuk mengatasi atau mengakhiri penderitaan itu, sekalipun manusia sudah meratap dan berkeluh kesah dalam penderitaan.

Camus menggugat. Apakah hidup masih mempunyai makna dengan segala penderitaan dan kesengsaraan yang dialami umat manusia ? Apakah hidup layak dijalani ? Mengapa orang tidak bunuh diri saja sebagai jalan keluarnya ? Kenyataan – kenyataan seperti itulah yang menyergap kesadaran Camus dan menimbulkan suatu perasaan absurd, dimana terdapat jurang yang dalam antara harapan, cita-cita dan keyakinan-keyakinan manusia yang luhur dan mulia, dengan kenyataan pahit dan tidak terpenuhinya keinginan manusia akan kebahagiaan, keadilan, dan kesejahteraan. Sehingga hidup seolah tidak mempunyai makna yang tetap, semua hasil kebudayaan akan lenyap, demikian juga dengan bumi dan kemanusiaan kita akan dilupakan.

Sekalipun demikian Camus menolak jalan penyelesaian melalui bunuh diri dan harapan. Bunuh diri merupakan tindakan pengecut karena orang tidak berani menghadapi dunia dan kehidupan dengan segala absurditasnya, melainkan menghindarinya. Demikian pula, harapan yang terkait dengan kepercayaan religious akan keselamatan dan janji hidup bahagia kelak, hanyalah sebuah pelarian.

Dua solusi yang ditawarkan Camus adalah pemberontakan dan kecerahan. Pemberontakan melahirkan suatu rasa solidaritas di antara orang-orang yang kesepian dan sendirian menghadapi absurditas hidup.

Dalam Mite Sisifus karya Camus, para Dewa telah menghukum Sisifus dengan pekerjaan yang tak berguna dan tanpa harapan, yang merupakan metafora perbandingan dari gambaran manusia-manusia yang bekerja keras, tanpa berharap akan adanya kepuasaan/pemenuhan yang akan ia peroleh dari hasil kerjanya, namun dalam keterjernihan pikirannya, ia tetap merasa tenang. Sisifus secara paradoksal tetap bahagia dalam frustasinya. Keringat dan letihnya adalah harga yang harus dibayar selama perjuangannya. Ia tetap bekerja mengulangi hal yang sama selama ia hidup –dihukum di dunia-, dengan sepenuh kesadaran akan ketiadaan ganjaran berupa apapun juga nantinya. Disebut kisah tragis dengan ending yang dibayangkan membahagiakan, mengapa ? “Saya tinggalkan Sisifus di kaki gunung kembali !” Mengapa ? “Karena kita selalu menemukan kembali beban kita”. Jadi ? “Sisifus mengajarkan kesetiaan yang lebih tinggi –yang hingga menafikan segala Dewa dan penderitaan mengangkat batu-batu besar. Perjuangan ke puncak gunung itu sendiri sudah cukup untuk mengisi hati seorang manusia. KITA HARUS MEMBAYANGKAN SISIFUS BERBAHAGIA”.

Apa yang dibayangkan Camus dengan kebahagiaan melalui ciptaan dalam ranah imajinatif seperti novel, atau ranah sosial politik seperti manusia yang melibatkan diri saat dimana manusia terancam, adalah didasari oleh manusia yang terhukum tanpa suatu penjelasan apapun yang datang dari langit yakni agama. Dan inilah yang ditolak oleh Hudan dengan filsafatnya yang membalikkan anggapan-anggapan atas semua asumsi yang seolah diceraikan dari tubuh induknya: manusia mengalami dunia tanpa Tuhan. Yang disebutnya sebagai menunda finalitas dan menunggu relatifitas.

Apakah perjuangan mencari dan menemukan makna di tengah padang absurditas kehidupan cukup untuk membuat kita mengandalkan kekuatan imajinasi dan berteriak lantang : “Ya. Aku membayangkan diriku bahagia !” seperti Sisifus ? Alangkah pedih dan perih penderitaan yang menimpa diriku, keluargaku, teman-temanku, saudara-saudaraku dan orang-orang lain. Apakah semua perjalanan penderitaan itu cukup mengisi perjalanan hidup dan dibayangkan sebagai kebahagiaan ?

Filsafat Hudan Hidayat benar.

Namun bagi Camus, penerimaan akan absurditas kehidupan dan tetap melanjutkan perjuangan sudah cukup. Tidak perlu menelusuri perihal maknanya dan mengharapkan janji kebahagiaan “di dunia sana, - after life”. Ketegaran adalah kebahagiaan tersendiri, ketegaran mengiyakan hidup dengan segala kesulitan, tantangan dan absurditasnya. Bukan menggantang mimpi dan harapan untuk kehidupan sesudahnya. Ateisme Camus secara tidak langsung mengandung absurditasnya sendiri, yaitu pemutlakan “pengiyaan terhadap hidup ini” dan bahwa “perjuangan, pemberontakan itu sendiri bermakna”, namun sekaligus mengandung solidaritas dalam humanisme, dimana terdapat kerangka eksistensialisme Camus yang dipahami dari filsafat Sartre tentang kebebasan, yaitu kebebasan menciptakan nilai-nilai hidup sendiri dalam upaya menuju hidup yang otentik, dalam mengiyakan hidup dengan tegar dan teguh.

Maka, absurditas dalam pemahaman Camus bukanlah seruan untuk mengakhiri hidup, namun suatu seruan untuk jujur pada diri sendiri, seruan untuk mengatasi “ketidakpedulian” Tuhan akan kenyataan pahit dan penderitaan dengan menciptakan nilai-nilai hidup yang dapat memperbaiki kondisi hidup manusia, dengan perjuangan solidaritas humanism secara teguh dan tegar mengiyakan kehidupan.

Mengadaptasi seruan filsafat Hudan Hidayat yaitu melawan ketidakpedulian, yang menjadi akar dari ketidakadilan, penderitaan dan absurditas. Karena adanya kebencian, bukan karena tidak adanya cinta, namun karena adanya ketidakpedulian, bahwa perlawanan atas seni yang indah bukan karena adanya unsur keburukan (ketidakindahan) di sana, namun karena adanya ketidakpedulian, jiwa yang tidak peduli.

Namun semua itu diletakkan dalam tataran langit atau agama – inilah pembeda sang filsuf ini dengan orang-orang seperti Albert Camus atau Jean-Paul Sartre.
 

News

SAMBUTAN HUDAN HIDAYAT & KOMENTAR KOHAR ATAS TERBITNYA NOVEL SITOYEN SAINT-JEAN : ANTARA HIDUP DAN MATI

11/08/2009 15:08
  Sambutan Hudan Hidayat & Komentar Kohar Atas Terbitnya Novel Sitoyen Saint-Jean : Antara Hidup Dan Mati Oleh : A. Kohar Ibrahim   Senin, 05 Januari 2009     HH...

SITOK SRENGENGE BICARA : MENANGGAPI UMBARAN FITNAH DARI WOWOK HESTI PRABOWO DAN SAUT SITUMORANG

11/08/2009 14:58
02 October 2007 [media-jabar] Sitok Srengenge bicara: Menanggapi umbaran fitnah dari Wowok Hesti Prabowo dan Saut Situmorang Pengantar dari Radityo Djadjoeri:   Setelah hampir sebulan lamanya terjadi "perang kata-kata" di dunia maya, para tokoh di Komunitas Utan Kayu (KUK) pelan-pelan mulai...

HUDAN HIDAYAT : SAUT DAN MATDON BERBOHONG

11/08/2009 14:39
02 October 2007 [media-jabar] Re: [artculture-indonesia] Hudan Hidayat: Saut dan Matdon berbohong radityo djadjoeri <radityo_dj@yahoo.com> wrote: Berikut email dari Mas Hudan Hidayat, menanggapi kebohongan Saut Situmorang dan Matdon..............................   From: Hudan...

SUDAH SAATNYA PENINGKATAN KERJASAMA BUDAYA INDONESIA DAN MALAYSIA

11/08/2009 14:33
Sudah Saatnya Peningkatan Kerjasama Budaya Indonesia dan Malaysia Hubungan budaya antara Indonesia dan Malaysia belakangan ini dalam situasi yang kurang bagus. Masalah budaya makin tertinggal, sedangkan politik dikedepankan sehingga mengurangi kesantunan yang menjadi kekuatan kedua...

HUDAN HIDAYAT : SAPARDI ADALAH PEMBUNUH TERBESAR SASTRA INDONESIA

11/08/2009 14:23
Hudan Hidayat: Sapardi adalah Pembunuh Terbesar Sastra Indonesia sayyid — February 11, 2009 / 8:58 pm       Diskusi Sastra Internet dan Masa Depan Sastra pada 31 Januari 2009 saat ulang tahun apresiasi-sastra@yahoogroups.com memunculkan pernyataan kontroversial dan gugatan...

KEMBALI MENGGUGAT DOMINASI SASTRA KORAN - HUT APSAS KE - 4 DI PDS HB JASSIN, TIM, JAKARTA

11/08/2009 13:51
Kembali Menggugat Dominasi Sastra Koran dok.milis apresiasi sastra /   Rabu, 4 Februari 2009 | 02:45 WIB Bila boikot terhadap media cetak yang dikatakan oleh Saut Situmorang adalah dalam konteks politik sastra yang memasung karya sastra, dengan mengedepankan kelompok-kelompoknya sendiri,...

NYANYIAN MATAHARI

11/08/2009 12:29
Nyanyian Matahari oleh Hudan Hidayat Saat Tuhan sembunyi dalam dunia yang berteka-teki, manusia melayani teka-teki Tuhan dengan kesadaran yang membelah dirinya: ia menghidupkan hatinya dan mengembangkan akalnya. Dengan akalnya ia mengolah dunia empirik. Dengan hatinya ia mengolah iman....

sebuah KRITIK SASTRA - MEMPERKUKUH SAINS SASTRA

05/08/2009 21:36
  Seperti ketika seseorang mencari alamat tempat tinggal seseorang yang lain dengan jalan berputar-putar, sains fisik pun akhirnya harus berhadapan dengan ukuran benda-benda: ia mengoperasikan aritmatika untuk menghitung panjang dan lebarnya alam. Atau, geometri untuk memahami ruang-ruang....

GEOMETRI TERTAWA

05/08/2009 21:33
Geometri Euklides bertemu dengan kepastian Descartes: setiap dua titik dapat ditarik sebuah garis lurus, sejajar dengan "aku berpikir maka aku ada". Kita bisa memasuki permainan pikiran ini dengan pernyataan lain: setiap pikiran yang dituliskan akan menghasilkan aksara atau dunia tanda. Itulah...

MANIPULASI TEORI DALAM FIKSI

05/08/2009 06:11
Kebutuhan sastra akan struktur, yang meletakkan diri pada grama dalam bahasa, seolah padanan anggota tubuh yang rindu akan rohnya, yang memancar dengan tenaga mekanik, dalam fungsi tiap serat anggota tubuh. Atau, bisa dibalik: roh yang hendak bereksistensi, meruang dalam tubuh. Badan bahasa,...
1 | 2 >>


Catatan Harri Gieb: Lelaki Ikan: Konaks Teks yang Tidak Konteks


Hari ini jam 10:38 apakah sebenarnya yang diharapkan teks dari sebuah makna. bagaimana sebuah makna bisa terbentuk dari beberapa kata, alinea, sehingga meciptakan cerita. apakah posisi cerita terhadap makna itu sendiri. apakah makna bisa ada tanpa ada cerita. demikian hudan yang saya kenal. asing dan kesepian.

semesta seperti meloncat tak harmonis dalam kumpulan cerpen lelaki ikan ini. membentuk dunianya sendiri yang asing dan gila. teks demikian liar. memburu pikir untuk menelannya mentah-mentah. kemudian muntah. huek. demikian hudan yang saya tahu. aneh dan nggilani.

hidup tidak ada sangkut pautnya dengan kehadiran tuhan. tuhan adalah mainan anak TK yang sedang belajar membaca. membaca kejadian yang melintas dalam rentang usia dan jarak. tuhan adalah posisi wujud yang menegasikan tubuh kita miliki sendiri. ini tubuh. tubuhku adalah tuhanku. itu vaginamu. ini penisku. demikian kita bertemu. demikian hudan yang saya ngerti. jomblo dan zi yi.

teks. teks. teks teks. teks. teks. teks. teks. teks. pernah kah tiba-tiba kau dihinggapi bahwa tanpa teks pun kita bisa konteks.

menghilangkan tuhan. mawujud tubuh. lelaki dan perempuan. ikan di tengahnya. menjadi penanda. bahwa pernah ada suatu masa. kita pernah menghabiskan waktu bersama. di sebuah ranjang. derit gairah yang membuncah sajak. ada kata yang tak bisa tidur setiap kali kita bersua. apakah itu? selain gagapku akanmu.

meracau apa ini. nikmatilah. nikmatilah. lelaki ikanku dalam keperempuananmu

Jurnal Sastratuhan Hudan

essai ini kukira bisa disejajarkan dengan esai unik kris budiman tentang novel tuan dan nona kosong: pendek, mencekat, dan inspiratif sekali.

benar benar menarik esaimu ini gieb. pendek, cepat, tapi mengena sekali.

ini bentuk baru juga dari dunia esai kita. konon pernah suatu masa dunia esai diekperimeni oleh penyair semacam jatman siapa dari semarang itu. tapi hingga kini aku belum pernah membaca esai esai yang pernah juga diungkit dalam sejarah sastra kita itu.
 

 

LELAKI MENJADI IKAN

hukum absurd - seleksi kata

 

Absurd menjadi hukum sebagaimana hukum-hukum di dunia material atau dunia manusia yang telah kita kenal. dalam hal apakah absurd menjadi hukum, seperti gravitasi atau seleksi alam itu? Dalam hal ketakmampuan akal untuk menjangkau. Absurd, mustahil atau tak masuk akal, kini kita balik deskripsinya: bukan sebagai sebab ditolaknya kekuasaan yang transendental, tapi justru awal dari diterimanya kekuasaan transendental.

Tentu saja mula mula kita harus meluaskan definisi: absurd, bukan semata tak masuk akal; mustahil, tapi mengatasi mustahil dan tak masuk akal. absurd menjadi ketakterbayangkan akal saking luas dan tak terhingga-hingganya suatu fenomena. Fenomena apakah yang absurd itu? mula mula adanya alam adalah absurd. Lama lama orang jadi mengerti tentang adanya alam. Mengerti bahwa alam yang ada ini datang dari suatu ketiadaan.

Alam sendiri mungkin memberikan cahayanya – cahaya malam. Descartes berbicara juga akan cahaya alam ini. light of nature, katanya dalam sebuah esainya. Tapi kita hendak melihat cahaya alam yang lain, yang bukan dilihat atau dipikirkan oleh pembangun filsafat modern itu.

Aku melihat api, kata musa. Api untuk suatu ungkapan simbolik bahwa di sana ada mungkin suatu penjelasan akan hidup. Tapi tak pada semua orang "api" itu membukakan dirinya. Pun pada musa tidak (betapa musa tiga kali tersungkur saat mencari api yang lain). maka di sanalah absurd itu berada. Absurd yang berganda. Tingkatan pertama dari absurd yang diempaskan oleh orang orang semacam camus dengan melepas dari yang transendental. Kini diri maju dan berada di alam tanpa apapun.

Kosong dari makna api-langit. Tapi kosong dari makna api langit itu, tak terhindarkan mencari dan menemukan dirinya ke api-langit yang lain. yakni api dari langit dewa dewa yunani. Kuasi-api ini membuat banyak para pemikir berlindung di dalamnya. Tanpa tahu bahwa mereka telah merenggutkan separuh kebenaran.

Seperti judul sebuah buku yang sedang mengamat pokok soal tertentu, dilepaskan dari of nya di situ. Sehingga buku itu tanpa sebelahnya lagi, karena of nya sudah diminta pergi oleh sang pengarangnya sendiri. atau and, and yang diminta pergi dan kini being di sana tanpa and. Hanya being tanpa nothingness. Hanya being tanpa time. Begitulah separuh kebenaran saat diusirnya api-langit oleh para pemikir. Para pemikir terjebak dalam bentuk tak tentu arahnya dunia. Dunia pun menjadi absurd dan mereka berpegang pada apa yang bisa dipegang.

Apakah yang bisa dipegang tanpa tuhan? Ada banyak yang bisa dipegang tanpa tuhan. Tapi semua dalam dugaan. Dugaan yang membuat iqbal menyebut plato sebagai kambing Pegasus masa kini. Suaranya elok dan kuat mencengkram negeri-negeri, tapi ia telah tersesat. Tentu saja iqbal jauh sekali dengan ghazali. Pada iqbal kita menemukan ucapan simpatik atas orang yang mencari akan dunia. Ucapan iqbal dalam ranah puisi lain sekali dengan ucapan iqbal pada ekspresi esai. Sedang ghazali menghantam tanpa tedeng aling aling: mereka, kaum filsuf yang ramai itu, telah tersesat. Sebesar apapun namanya, setersohor apapun namanya, mereka telah tersesat dan karena itu bukan islam lagi.

Mereka akan menjadi kayu bakar dari api yang menyala di neraka. Sedihnya (bukan klise tapi klasik, kesedihan itu, atas bonggol hidup yang orang sedunia tangkap), dari kehendak mencari api dari langit kehidupan, terdampar ke api langit kehidupan dewa dewa yunani, kini terantai pada api dari langit langit neraka.

Tapi seperti itukah? Di sini aku bertolak jauh sekali dari iqbal. Dalam rekonstruksi itu sebenarnya aku ingin melihat bagaimana cara dia menangani pandangan surga dan neraka sebagai implikasi niscaya ini. tapi tak kujumpai di sana. iqbal, seperti kebanyakan pemeluk teguh, tak lain seorang pemeluk agama formal. Masih jauh dari bayangan saya yang hendak melakukan rekonstruksi di balik makna dunia. Adalah makna langit.

Bagaimana cerita langit itu? mengapa orang ini masuk ke dalam surga dan mengapa orang ini masuk ke dalam neraka. Mengapa tidak dia ini yang masuk ke neraka dan kita ini yang masuk ke surga. Tapi benarkah masuk itu ada dan mengandung kepastian yang tak berubah lagi?

Agama itu membuatku takut, kata Karen amstrong. Dan kalau hendak kita buat pembedaan, antara seniman agung negeri sendiri dan seniman agung negeri barat, maka orang di negeri barat, akan atheis sampai matinya. Tapi orang di negeri ini, pada usia tua mereka akan kembali kepada rumah masa kecil dalam keyakinannya.

Wajah mengapa itu memang absurd, tapi bukan pada tekanan tak masuk akal atau mustahil akalnya, tapi pada gerakan betapa tak terhingganya tiap kenyataan langit dan bumi. hanya walau tak terhingga, kita percaya. Jadi absurd menjadi satu lompatan ke dalam iman ala kiekegaard, bukan lompatan iman pada kekosongan alias atheis.

Atheisme tak pernah ada harapan: ia mengunci diri pada separuh kebenaran. Memang dalam lompatan indah seperti tiap frasa mendebarkan yang diperagakan Nietzsche. Tapi hanya itu. tak pernah bisa diangkat naik untuk menjelaskan secara memadai akan dan tiap situasi hidup ini. lukanya bukan dari suatu harapan sembuh untuk penjahitan kembali. Tapi akan mengangakan luka terus. Darah akan terus mengucur dari luka. Tak ada benang langit atau benang bumi yang menjadi pemintal untuk luka semacam itu. karena ulatnya di hati oleh sebutan camus. Karena hatinya memeluk separuh kebenaran.

Tapi baiklah saya memeluk selengkap kebenaran. Langit kini saya peluk dan saya genggam. Lalu dapat apakah saya? Dalam kehendak untuk memeluk dua keping dari satu mata uang Goethe meminta tokohnya bekerjasama dengan setan mafisto. Kitab itu pun menganut kerjasama semacam ini, saat sulaiman meminta jin dan setan membantunya membangun istananya.

Tapi dapat apakah sulaiman dan dapat apakah Goethe? Goethe bukan nabi sedang sulaiman adalah nabi. Sangat mungkin paradigma dapat apa tak bisa diusutkan di sini. Varian varian nurani dan bisikan bisikan hatinya mungkin sama. Tapi ketajamannya mungkin membuat jawaban "dapat apa" itu yang membuat manusia biasa terpental.

Dapat apa kita kalau bukan dapat segenggam absurd itu sendiri? kita naik ke puncak absurd: apakah dan bagaimananah sang transendal itu mengelola dirinya sebelum api big yang bertemu bang-nya itu.
apa yang terjadi di sana saat sang unik sendirian dan begitu sendirian? tak ada. Tak ada bunyi kecuali bunyi napasnya sendiri. tak ada gerak kecuali gerak tubuhnya sendiri. tapi lalu mengapa ada gerakan dan ada bunyi. Lagi pula, dari mana, ya, darimana sebenarnya sang maha unik itu? tanpa manusia ia tetap ada. ia ada di luar kesadaran kita. Di luar cogito kita dalam terminologi Descartes.

Kita bisa menendangnya melalui ketiadaan, kata Sartre. Saya pun sepakat dengan Sartre dengan meluaskan Sartre, bahwa bahasa pun adalah ketiadaan: sifat tiadanya sama dengan cogito Descartes yang ditolak oleh Sartre. Tapi saya mengayunkan ketiadaan ini kepada absurd dalam iman. Sama sama absurd tapi saya merengkuh kebenaran yang mereka gagal tangkap dengan ayunan semata being itu.
saya kembalikan time atau nothingness- nya ke tempat di mana seharusnya mereka berada. Tapi kembali diri terayun ayun: dapat apa kita dengan ketiadaan yang begitu tak terhingganya, seperti tak terbayangkannya lagi oleh akal, absurd, akan realitas tuhan sebelum dan sesudah dunia ini kelak berakhir.

Kita dapat apa?
Tak dapat apa apa.

Tapi kita berbahagia dengan memeluk absurditas yang telah kita ubah komponen komponennya. Absurd kini menjadi absurd dari iman yang melompat kepada ketiadaan. Tapi dalam satu lompatan yang percaya, meninggalkan separuh lompatan yang lain – yang tak percaya. Kita menggenggam seluruh kebenaran – tapi kebenaran selalu merucut dari balik balik tangan kita yang menggenggam.

Tak mengapalah. Setidaknya kita telah menyatukan separuhnya lagi dalam pikiran. Pikiran yang juga absurd. Seperti absurdnya lompatan yang dilakukan lelaki ikan ke dalam lautan.

Tapi sekali lagi, absurd yang percaya. Bukan absurd yang tergantung gantung di antara langit dan bumi. absurd sampai mati. Wajah lain dari cahaya alam yang disebutkan oleh Descartes dalam inti pandangannya akan manusia dan alamnya, bergerak dan digerakkan oleh alam yang seakan mesin dunia: manusia dan benda benda berputar di dalamnya. Menjadi bandul jam yang bergerak ke kiri dan ke kanan.

Seakan ruku dan sujud kita sendiri: bergerak gerak walau hati senang atau rusuh hati. Kita naik turun dalam sholat walau bukan dalam artian sembahyang. Kita sembahyang, tapi dalam gerakan sholat di dalam bahasa. bahasa absurd yang telah kita ubah wajah tunggalnya. Menjadi absurd yang berganda. Absurd yang percaya. mari kita nikmati wajah absurd diri kita sendiri ini.

Huhi

 

 

 

 

 

 

 

              KEMUDIAN MENJADI AIR ;

       DARI DEBU KEMBALI KEPADA DEBU ;

    the Final Theory - JURNAL SASTRA TUHAN HUDAN

 

Jurnal Sastratuhan Hudan

why was I born



Dua "kata" Sartre itu pelan pelan saya letakkan.

I did not ask to be born. why was I born?

Saya susuri lagi halaman itu, karena saya tahu kata kata semacam itu belum lagi lengkap. Masih ada lanjutannya, seperti kita membuka kotak hati kita sendiri, masih ada yang tersimpan di sana, suatu perasaan tua yang lain. itulah lautan eksistensi.

I find my self suddenly alone and without help (in the world)

Tak ada agama di sini, justru agama hendak kita coba cari dari celahnya. Tapi pentingkah? Tidakkah tanpa agama kenyataan demikian murninya? Telanjang di depan mata demikian aslinya. Saya mulai menggoyang goyangkannya dalam perspektif negara. Dan negara itu berkata:

Saya tidak minta dilahirkan. Lalu mengapa saya lahir?

Mendadak saja saya dapati diri saya di antara bangsa bangsa ini, sendirian dan tanpa pertolongan.

Inilah negara eksistensial sebagaimana individu eksistensial. Negara yang seolah manusia yang berkata, atau manusia yang seolah negara bisa berkata: mengapa saya dilahirkan? Kata kata semacam ini mengandung ketiadaan yang niscaya dalam dirinya. Ketiadaan yang tua. Dia cepat berputar ke dalam palung ketiadaan yang hampa makna.

Bagaimana kalau saya tidak dilahirkan?

Lalu sederet masa lalu yang membentuk masa kini, tercampak semua ke dalam ketiadaan. Memori sedih dan senang itu tak ada lagi. Bukan tak ada lagi tapi memang tak pernah ada, karena suatu jawab yang datang dari bagaimana kalau saya tidak dilahirkan. Tak ada identitas dan tak ada lika liku hidup kau dan aku, atau aku dan kamu. Kita tak berjejak di bumi. kini ada jejak kita di bumi, entah senang entah sedih, tapi ada jejak kita di bumi. orang lain boleh menista kita tapi itu adalah jejak kita. Baik dan buruk tubuhku adalah milikku.

Bagaimana pun aku pernah ada dan aku cintai tubuhku seperti kamu mencintai tubuhmu. Inilah tubuhku, tubuh individual atau tubuh negara. Kalau negara sering mengambil tubuh individual, bagaimana kalau kini kita tarik tubuh negara menjadi tubuh individual. Sehingga eksistensi individual terkena padanya kini. Namanya negara eksistensial alias negara individual seperti manusia yang unik itu.

Negara semacam itu punya duka sedih dan bahagia seperti kita juga. Tapi seperti kita juga negara bisa berkata. Inilah tubuhku. Mungkin nista tapi inilah tubuhku. Kucinta atas tubuhku karena inilah satu satunya milikku. Tubuhku, kata individu dan kini kata negara yang telah bermetamorfosa menjadi individu.

Dengan begitu negara tak bisa lagi menyakiti warganya lagi. Apalagi yang hendak ia sakiti karena dirinya sekarang sudah menjadi individu di tengah individu yang lain. sudah menghilang menjadi manusia di tengah manusia yang lain.

Suatu kontras lain bisa kita ajak Sartre untuk bermain (atau kita sedang memain mainkan Sartre?), untuk memberi tekanan pada ucapan kita sebagai manusia, atau sebagai negara agar getir dan pilunya bisa lebih tuntas bermakna. Kalau orang agama tak bisa mencipta makna biarlah kita yang mencipta makna. Makna tanpa makna. Tapi makna juga setidaknya ada kata maknanya.

"this woman whom I see coming toward me, this man who is passing by in the sreet.. lihatlah wahai manusia kita masih sama juga. Sama sama manusia lain di antara manusia lain walau mungkin kamu dalam perspektif objekku, aku-subjek dalam perspektif aku-objekmu. Subjek dan objek yang saling isi mengisi, tekan menekan dan dorong mendorong, mencipta dinamik kemanusiaan. Tapi kini "I am in a public park", and "if I were to think of "him" as being only a puppet, I should apply to him the categories which I ordinarily use to group temporal-spatial `things'".

Suatu perubahan anggapan telah dikenakan oleh Sartre dan oleh kenyataan kita juga (rupanya). Bahwa manusia kini bergerak menjadi boneka- barang di tengah barang yang lain. think kini telah bergerak menjadi thing.

Siapa yang membuatnya berdenting seperti itu? Negara. Maka negara agar tak begitu lagi kini kita tarik menjadi negara individu. Agar ia sampai kepada negara eksistensial sebagaimana individual eksistensial – merdeka dan bertanggung jawab dengan kemerdekaannya.

Hidup mengangakan kebebasan dan kebebasan mengangakan pelbagai kemungkinan.

To make myself passive in the world, to refuse to act upon things and upon others is still to choose myself, and suicide is one mode among others of being-in-the- world.

Haruskah kita membunuh diri kita sendiri? kita akan "membunuh diri" dalam bahasa, menguncikannya kepada makna unik dalam diri kita sendiri – tak membiarkan nilai lain masuk. Hanya nilai kita sendiri dalam bahasa. membuat diri naik ke puncak ego sebagai manusia merdeka di sana – dalam bahasa.

why was I born?

Mengapa aku ada dalam "being and nothing?" aku ada untuk bahasa yang menerangkan semuanya dengan bahasa.


Andre Panuli
Andre Panuli
itu semua karena ke-egoisan Tuhan/hak absolutnya.. ., terkadang kupikir dia ( Tuhan ) konyol hingga membuat kekonyolan ini... capek mikirin dia... entah karena memang dia pintar atau memang dia ..........?? ?

btw, aku suka dengan kepintaran mu bang. siplah...

Rini Asmoro
Rini Asmoro
hehehehe.... .aku hadir kembali menyimak ! De jus de air putih
 
Cavita Jamie
Cavita Jamie
sebab kau memintanya.. .
repot ya andre: kita hidup di dunia tiran, andre. malang tapi itulah dia.
 
Andre Panuli
Andre Panuli
wkwkwkwkw... .
20 menit yang lalu ·
Putih Putih Melati
Putih Putih Melati
tanyalah pada rumput yg bergoyang... . ^_^
 
Andre Panuli
Andre Panuli
maaf ... di status ini sungguh ilmiah... jadi seriuslah!!! semua ! aku tadi ketawa karena ilmiah juga... ! :)

 

 

 

 

 

 

 


the FINAL THEORY - JURNAL SASTRA TUHAN HUDAN