HUDAN HIDAYAT DALAM SEMINAR BANDINGAN DI MALAYSIA

13/08/2009 03:02

makalah hudan hidayat - seminar sastra bandingan di malaysia

hudanhidayat
Fri, 03 Apr 2009 23:03:23 -0700

(angkatan sastra sesudah 2000)


Relijiusitas yang datang dari dunia profan dalam karya
pengarang perempuan muslimah
oleh hudan hidayat*

makalah kedua untuk seminar kepengarangan muslimah nusantara 2009
anjuran persatuan kesusastraan bandingan Malaysia
di dewan bahasa dan pustaka Malaysia
31 maret – 2 april

Dunia profan yang kita luaskan dari pengertian atau klasifikasi sebagai tubuh
yang hina, tubuh yang tercemar, tak menaik kepada dunia ketinggian, dunia yang
menjadikan semesta sebagai renungan dan kelak akan menggelincirkan diri kepada
sang khalik pencipta bumi. Dan itulah saatnya relijiusitas dalam puisi datang
dari dunia profan. Dari dunia tubuh dan benda benda yang diaduk sang penyair
menjadi peristiwa dalam hidup yang dialami.

Saya membaca dunia puisi kirana kejora dalam bukunya Perempuan dan daun. Sebuah
buku puisi yang dicampur sang penyair dengan memasukkan cerita pendek ke
dalamnya, serta berhias foto foto pengarangnya yang melibatkan juga fotografer
terkenal di negeri ini seperti fotografer darwis triadi.

Selalu penyair mencari lambang untuk dunia puisinya. Kirana memakai lambang
perempuan sebagai daun. Dengan angin, tanah, perempuan yang dilambangkan sebagai
daun hidup menjadi dunia puisi. Dalam puisi pembuka dari buku puisinya, kirana
memasang puisi berjudul nafas sang daun. Nafas sang daun yang menjadi dunia
lambang dari kehidupan perempuan. Apakah suara penyair perempuan di sana?

"Perempuan adalah daun
Lelaki adalah angin",

begitulah bunyi larik pertama dan larik kedua puisi kirana.
Dengan puisi ini kirana hendak mengidealkan posisi perempuan dalam relasi dengan
dunia lelaki. Perempuan sebagai daun yang digoyang goyang angin bukan untuk
supaya sang daun jatuh ke bumi.

Angin "yang datang tiba tiba… membuai daun… namun ketika angin berlalu… daun itu
menguning … terjatuh di tanah…"

"Inginku",
kata kirana,
"biarkan daun itu gugur
Karena kehendak alam
Bukan karena
Tiupan kencang sang angin kembara…"

Relijiusitas yang bertiup dalam puisi seperti itu, memang tak datang dari
kehendak untuk menarik ayat ayat dari sebuah kitab suci. Tapi dari pengalaman
hidup yang dihayati sang penyair. Daun, angin, tanah dan ranting, adalah
pengelihatannya terhadap semesta. Dipakainya untuk merenungkan hakekat
kehidupan. Relijiusitas semacam itu tak juga menunjuk secara verbal hendak
kemana "daun dan angin" itu.

Hendak kemana lelaki dan perempuan di atas dunia ini, tak dikotakkan sang
penyair kepada katakanlah "dunia khusnul khotimah" yang datang dari "keluarga
sakinah mawardah". Tapi dari realitas sehari hari yang dicernanya dari segenap
indera indera tubuhnya yang diberikan oleh tuhannya. Hatinya adalah hati
penyair, seseorang yang merespon alam yang diberikan oleh tuhannya juga. Maka
relijiusitas datang langsung dipetik dari sang alam. bukan dipetik dari kotak
kotak yang termuat sebagai ayat ayat di dalam kitab suci.

Dalam puisi ketiga di buku itu, sang penyair bersurat kepada ilalang dalam puisi
yang berjudul "surat kepada ilalangmu".

Apakah isinya?

"pada ilalang kutawarkan secangkir embun
Buat redam takutku…"

Puisi ini bercerita tentang perempuan yang sendiri. Perempuan yang gagal
membangun relasi dengan seorang lelaki yang nampaknya pernah mengisi hidupnya.
Melalui ilalang – sesuatu yang dalam kosakata sehari hari tak berdaya guna itu,
sang penyair memindahkan sebutan dirinya ke fungsi fungsi yang terkait juga.

"aku masih sabit yang terpenggal", katanya
Yang tak pernah memiliki malam, siang, pagi"

Pada puisi semacam ini, kembali kita diingatkan akan sebuah religiositas yang
datang dari alam itu sendiri. Manusia bersatu dengan alamnya untuk menceritakan
dirinya. Memakai kosakata perbandingan dengan alam yakni ilalang, sabit, dan
setting alam ini mengantar pembaca puisi ke luar menuju semesta yang sunyi tak
bertepi. Seakan kita berada di tengah ilalang itu, lalu berdesaulah angin dan
berkeriaplah bunyi dan suasana malam. Dan dengan begitulah kita melepaskan benda
benda yang profan, atau dengan jalan atau melalui benda benda yang profan, sang
penyair mengajak pembacanya menanjak ke religiositas terhadap makna makna hidup.

Adalah penyair Inez dikara yang membuat buku puisi bersama maulana achmad dan
dedy t riyadi. Dalam buku puisi tiga serangkai berjudul sepasang sepatu sendiri
dalam hujan, sebuah judul yang menurut saya adalah sebuah larik puisi sendiri
itu – larik puisi dari ingatan kita bahwa di dalam sebuah hujan, ada sepasang
sepatu yang sendirian di bawah hujan.

Siapakah yang menaruh sepasang sepatu yang sendirian di bawah hujan itu?

Tapi benarkah sepasang sepatu yang sendirian itu berada di bawah hujan tanpa
atap atap sebagai penopang, tapi tercagak di sebuah padang misalnya, dan hujan
turun membasahi dirinya.

Kalaulah ada pemiliknya pastilah sang pemakai sepasang sepatu itu akan ikut
keciprat air. Dalam sebuah angan angan sayu yang datang dari guyuran air hujan,
kita bisa menerka nerka darimanakah pemilik sepasang sepatu itu, sampai kuyup di
bawah hujan dan hendak kemanakah dia gerangan.

Segeralah terasa dunia puisi adalah dunia asosiasi, di mana pembaca puisi bisa
ditarik atau membawa dirinya bersama puisi ke dalam lamunannya. Ke dalam
kenangan juga. Seperti penyair Inez dikara dalam buku itu membuat sebuah puisi
berjudul yang amat puitik: senja bersandar di jendela kamar. Sebuah larik judul
yang mengisyaratkan tubuh puisi hendak dibawa kemana, yang adalah puisi itu
sendiri: senja bersandar di jendela kamar, sebuah isyarat akan hidup yang
terbentang ke alam alam tak terduga – senja, yang akan bergerak ke malam hari,
terbuka ke dalam tiap kemungkinannya – seperti jendela itu, terbuka akan tiap
pemandangan yang bisa di longok dari baliknya.

Apakah yang dikenang sang penyair berwajah melankolis itu? Apakah di balik
jendela jiwa sang aku lirik itu?

Adalah waktu. Waktu yang mengajarkan religiusitas tentang pergantian jam dari
bumi yang berputar, bumi yang didekatkannya seolah ibu, ibu dari tanah yang
menumbuhkan kehidupan, dan ibu dari seorang perempuan yang menebarkan kasih dan
sayang. Waktu darimana alam bergerak dan seorang ibu bergerak. Dan itulah waktu
dari saat sang aku lirik memunguti kenangannya.

"Dada bumi memelukmu hangat
Seperti tangan ibu yang kini jauh
Tangan yang menyuapimu dengan sabar
Lalu menyelimutimu ketika malam datang"

Terbantanglah apa yang di balik bumi. Apa yang di balik ibu. Adalah kehidupan
itu sendiri. Kehidupan yang direnungi sang aku lirik dan pembaca kisahnya.
Kehidupan yang menerobos dunia benda dan peristiwa, menerobosnya hingga kita
sampai ke pertanyaan: duhai, hendak apakah kehidupan ini? Hendak ke manakah
"dada bumi" dan hendak ke manakah "tangan ibu" yang "menyuapimu dengan sabar"
itu? Hendak kemanakah kamu?

Seorang penyair perempuan muda yang cantik dan berkerudung, nur jehan, adalah
seorang penyair yang hemat saya memiliki bakat besar dalam menulis puisi. Lagi
lagi saya menemukan bakat bakat besar dalam dunia puisi Indonesia mutakhir ini
di media massa bernama facebook – sebuah media maya yang konon sangat popular
setelah kemenangan presiden amerika barac obama, yang kemenangannya sebagai
presiden pun ditempuh juga melalui kampanye yang gigih melalui facebook. Jehan
selalu, nyaris tiap hari, mengumumkan puisi puisinya di notenya di facebook.
Dalam suatu malam chating, ia mengaku menemukan jalan hidup di dalam puisi.
Dengan menulis puisi, begitu katanya yang saya kutip dari ingatan, hidupnya
menjadi lebih ringan dan lebih berarti. Seakan ada yang menunggu dirinya untuk
dikerjakan. Yakni menulis puisi. Dan memang puisi selalu berlahiran dari
tangannya.

Salah satu puisinya seolah menjawab dengan telak ke mana hidup ini hendak kita
tempuh. Yakni hidup seperti busur angin – judul puisinya. Mata panah terlepas
dari busur. Tapi yang terlepas dari busur kini bukan mata panah tapi angin.
Angin sebagai sesuatu yang tak terduga dan angin sebagai yang hendak kemana
dirinya akan bertiup. Hidup sebagai busur angin adalah hidup yang terbuka ke
arah arah mana yang ditunjuk oleh hidup itu sendiri. Maka hidup seperti larik
larik dalam puisi jehan:

"berjalan ke barat mengarak awan

merangkak ke utara menggiring bintang

tertatih ke timur meninggalkan bulan

melayang ke selatan menjemput kunangkunang"

Setelah arah arah ditempuh, harapan juga yang hendak dijemput yakni harapan yang
seolah berlubang kecil di tengah tengah semesta seolah sebuah titik yakni kunang
kunang. Awan, bintang dan bulan, seolah patok, seolah peta untuk menjenguk ke
balik harapan yakni titik cahaya kecil seolah kunang kunang. Sesuatu yang
dijemput oleh sang penyair dengan merekakan dirinya "menyulam petala, saling
merajut, lalu mengangkasa".

Kunang kunang, yang di dalam puisi nirwan dewano jantung lebah ratu, yang
memenangkan lomba Khatulistiwa Award, adalah mahluk yang dilahirkan oleh
"sebutir telur malam", yang diberi sang penyair bobot "meninggi, terus
meninggi", sampai pada suatu titik puisi menjadi labirin sekali makna maknanya,
sampai ke tangan penyair jehan dibaliknya dengan bobot sederhana sebagai
penunjuk jalan jalan harapan dari semesta yang "berbusur angin".

Maka tampak sebuah relijiusitas dari seorang yang mencari makna hidup dengan
mempertanyakan arti langkahnya dengan memakaikan benda benda alam: awan,
bintang, bulan, kunang kunang, dalam sebuah upaya yang membumbung sampai ke
angkasa. Menghidupan ke dalam puisi kebajikan yang datang dari sebuah kitab:
tembuslah langit itu bila kau sanggup menembusnya dan berjalan jalanlah kamu di
muka bumi mencari karunia tuhanmu.

Bahkan ketika penyair ini mempertanyakan sisi sisi gelap dari mereka yang
menempuh "busur angin", ke dalam sebuah kisah puisi yang bertolak dari relasi
manusia pendosa, dunia kelam dari hubungan lelaki dan perempuan pun dibasuhnya
ke dalam semacam dosa samar samar dari sebuah adegan ranjang samar samar, adegan
yang menyisakan pilu dan pedih di hati sang aku lirik berjenis kelamin perempuan
dalam puisi.

Itulah kisah sang penyair dalam puisi yang berjudul "sajak luka". Sajak luka
yang samar samar mensyiratkan pasangan suami istri yang berbicara tentang luka
lama sang istri. Luka lama sang istri di mana sang suami hendak menjahitnya dan
memasangkan baju semacam iman baru kepada sang istri.

Dalam puisi sajak luka ini terkuaklah sebuah dialog yang renung dari sebuah
ruang yang dikuakkan luka lama, di mana semacam kepasrahan dan keikhlasan yang
datang dari rasa kasih dan sayang sang lelaki membuat dialog di antara mereka
menjadi semacam menjahit luka yang indah, getir dan pedih tapi indah karena
kualitas sang penyair memainkan larik larik dalam puisi seolah puisi atau kisah
dalam puisi sampai ke telinga atau diucapkan oleh kedua aku lirik dalam puisi
seakan nyanyian.

Nyanyian dari sebuah luka yang terbuka kembali tapi mereka berdua dengan dengan
semacam kesedihan terpendam menutupnya perlahan pelahan, dalam dialog yang
mengendap di mana kasih di antara mereka seakan membuka dan menutup luka lama
dari "sayatan sejarah" itu. Dan segera nampak sebuah kisah "pornografi" dalam
puisi dapat menempuh rute rute lain dari rute rute yang telah ditempuh oleh
cerpenis lanfang dalam dunia cerpennya misalnya, tapi sebuah rute yang lebih
mendekat kepada dunia cerita larunduma dalam cerpen la ode wulan. Saya kutipkan
penuh puisi yang menarik ini, puisi dengan kesakitan dan kesalahan yang terasa
begitu sublim bermain dan mengendap dalam larik larik puisi.

"luka apa ini…"
"Ah… akhirnya kau lihat juga luka itu
Padahal sudah kututup rapat dengan lemakku"

Sajak Luka

tadi malam dia bertanya padaku "luka apa ini"...ditelanjangku padanya
ah....akhirnya kau lihat juga luka itu
padahal sudah kututup rapat dengan lemakku
aku hidup bersama luka ini, hingga lupa waktu, tak kuingat lagi sakitnya
mencoba berdamai, sia-sia
kuingat si pendosa itu di sisa kopi dan baju kuning kesukaanya

tadi malam...kau raih aku dalam pelukmu, hilang sadarku

pagi ini...kulihat bekas darah di kutang biru pemberianmu
hangatmu sambut sadarku....
bekas jahitan apa....sayatan pisau sejarah
apa yang kau lakukan dengan lukaku sayang?
"sudah kuhapus luka itu"
"luka dalam masa kelammu"
"sudah kujahit bekas sayatan itu"
"mau kupakaikan baju kuning kesukaanmu"

jawabku
"masih basah bekas jahitmu, biar dulu kering dia"
kau tersenyum
"senyum itu...ingatku pada senyum di wajah pendosa,
malam itu di hotel bintang 3 bernuansa eropa"
"wajah itu....wajah yang membawa ke neraka bersama sejuta gembala cinta'

masih basah bekas jahitmu, biar dulu kering dia
kunikmati lagi kenangan luka ini
dalam memori tak terperi

Puisi jehan ini seperti "pornografi yang berwatak kekerasan juga dalam puisi
lastri di abad pertengahan penyair krisandi dewi, yang mencuatkan relijiusitas
dari nasib akan kematian dan kekerasan di dalam puisinya:

"Tapi Lastri telah mati.
Badan rampingnya remuk diamuk tronton tadi pagi.
Sebelah tangannya yang nakal, entah kiri atau kanan,ditemukan tersangkut pada
gerobak sapi, di roda belakang."

Kekerasan yang terbaca sebagai satire dalam puisi helga saat membuat kontemplasi
atas ulah media akan musibah yang menimpa penduduk situ gintung – musibah dari
jebolnya sebuah bendungan:

Kepada situ gintung yang tersinggung

Hari Ini Aku Mengetahui Kau Lebih Jauh Lewat Jualan-jualan Media Yang
Beramai-ramai Menjelaskan Riasanmu Yang Begitu Menor Yang Membuat Aku Dan
Berjuta-juta Penyimak Media Ternganga-nganga


Bibirmu bergincu nyawa dan air mata

Apa yang hendak saya katakan dengan penelisikan intrinsik kepada para pengarang
muslimah tersebut adalah bahwa selalu relijiusitas bercabang dua, dari cabang
cabang yang diimani oleh para penulis forum lingkar pena, yang menarik
relijiusitas dari kosa kata atau idiom idiom langsung dari kitab suci semacam
ucapan bismillahirrohmanirrohim, alhamdullilah atau allahu akbar. Seperti
misalnya terbaca dengan jelas dalam serial yang diterbitkan penerbit forum
lingkar pena.

Dan selalu pada akhirnya relijiusitas pengucapan seperti itu kita akan
menghitung dari kedalaman maknanya dan keindahan dunia ceritanya. Seni, seni
sastra, agaknya memang terberi untuk kedua aspek itu.

Kalau kita membaca novel cala ibi nukila amal, relijiusitas datang dari pecahan
pecahan saat sang novelis menjadikan novelnya ke dalam pengucapan kisah novel
berbentuk lambang lambang dari dunia daun.
Saya kutip pembuka novel itu.

"Bapakku anggrek bulan, putih dari hutan. Ibuku mawar merah di taman, dekat
pagar pekarangan. Bertemu suatu pagi di pelabuhan. Melahirkankanku. Bayi merah
muda kemboja. Bunga kuburan."

Sebuah pembukaan dari dunia prosa yang berwatak puisi. Puisi yang memiliki ciri
ciri prosa. Puisi dan prosa yang jelas memiliki dimensi relijiusitas tinggi
dalam dirinya. Saya belum menghitung apakah pembukaan semacam itu semacam
pengejut dari dunia novel, atau apakah pembukaan semacam itu akan meresap ke
dalam tubuh novel, menjadi sebuah strategi tekstual di mana ia bukan sekedar
pengejut bagi pembacanya, tapi sebuah dunia yang memang diniatkan menjadi isi
dari novel: dunia perlambang yang hidup terus dan kelak akan menyebar ke pecahan
pecahan cerita.

Tapi saya tahu dengan cara seperti itu, novel nukila memang telah meliuk dari,
misalnya, cara cara iwan simatupang menancapkan relijiusitas novelnya melalui
monolog atau aksi aksi aneh dari tokohnya – tokoh kita dalam ziarah dan tokoh
kita dalam merahnya merah.

Dengan mengambil beberapa representasi itu, maka bisalah kita simpulkan bahwa
pada pengarang muslimah dewasa ini, relijiusitas dalam karya karya mereka makin
menguat dengan beragam ragam pengucapan. Dan nampaknya, pengucapan dominan
adalah pengucapan dari mereka yang melakukan penulisan tanpa harus bersandar
atau menyandarkan diri ke dalam nilai nilai formal dari sebuah kitab suci.

Seperti yang menjadi trend yang nampaknya merupakan strategi literer itu, dari
mereka yang tergabung dalam forum lingkar pena. Tapi tentu saja tidak semuanya.
Seperti helvi tiana rosa sendiri, atau aida yang sudah saya kutip di dalam
kertas kerja utama saya itu, melakukan pengucapan yang "cair" juga dari nilai
formal kitab suci itu sendiri.

(hudan hidayat)


- Penggagas angkatan sastra sesudah 2000
- Pemimpin redaksi jurnal sastra tuhan hudan di facebook
- Redaktur budaya jurnal perempuan
- Penggagas memo Indonesia bersama fadjroel rachman, mariana
amiruddin dan rocky gerung
- Redaktur jurnal cerpen Indonesia
- Mengajar penulisan kreatif di IKJ
- Penulis novel tuan dan nona kosong
- Penulis novel kayu api
- Buku cerpen orang sakit, keluarga gila, dan lelaki ikan
- Penulis buku esai nabi tanpa wahyu dan ziarah kata







katamu











2009

the FINAL THEORY - JURNAL SASTRA TUHAN HUDAN