Jurnal Sastratuhan Hudan

11/08/2009 10:21

Jurnal Sastratuhan Hudan

seorang kawan berulang tahun, mukim di amerika. baru saja kami mengadakan kontak telpon dan dia bilang: kemarin aku melihat wajahmu, dan kamu lupa aku berulang tahun. jadi aku diam saja. kata kata itu seolah penyengat sampai kepadaku. aku tercekat dan bilang: iya amnestia. lupa. dan banyak kejadian penting yang aku tidak ingat lagi dengan jelas.

tiba tiba aku ingat kembali ia yang baik hati - es itu. perempuan penuh pengertian dan sangat baik padaku. banyak yang mengejutkan darinya. detil dari ide dan ide yang agak mendetil. itu salah satu yang aku suka dan dia mungkin mengejar apa apa ide, apa apa gagasan. tapi akhirnya semua ia letakkan dalam ukuran yang berangkat dari nyaman hatinya sendiri.

ide ide besar kalau kita tak nyaman, untuk apa, katanya suatu ketika saat kami melemparkan remah remah roti pada sekumpulan burung. burung itu terbang mendekat dan bubar kembali.

lihatlah burung itu, katanya. tidakkah hidup kita ini seperti burung? aku melihat burung itu tapi aku tidak mendengar suaranya. burung itu tak pandai bicara, kataku pada es dan es mengatakan alangkah lucu kalau burung bisa berkata kata. iya, lucu, kataku. tapi mungkin ia berkata kata seperti manusia hanya kita tidak tahu bahasanya.

lalu kami begerak ke luar taman itu. sore dari jauh datang pada kami, dalam bentuk pecahan pecahan senja merah dan senja itu bergetar getar sampai ke kaki kami. kau lihatlah es, kataku, senja ini bergetar getar di kaki kita?

es tertawa dan menyepakkan sepatu yang membalut kakinya yang mungil. sepatumu berwarna putih, kataku. dan senja yang menimpanya berwarna merah, kataku. iya katanya. kaki kita jadi berwarna merah dan putih. itu warna sebuah bendera, kan, hudan, katanya. tidak juga, katanya membantah pendapatnya sendiri. lalu warna apakah dua warna itu, kataku.

es bergumam dengan mengikuti angin: warna dari darah di tubuh kita. aku tergelak membayangkan dua warna dari darah dalam tubuhku. tapi yang mengucur selalu warna merah. aneh ya, kataku.

kita harus membuat luka agar darah putih kita menampakkan dirinya. benar, memang seperti itu. lalu secara serentak kami menyuarakan sebuah kata yang meluncur dari tubuh kami: nanah, kata kami hampir berteriak dengan tekanan yang bergerak riang.

riangkah kamu es? kataku. riangkah hidupmu? kukira hidupmu riang. aku tak melihat alasan yang membuat hidupmu muram. es berkata perlahan seakan untuk dirinya sendiri: atau mungkin bukan riang, hudan. mungkin hidup kita ini adalah gabungan dua kata yang suka kau sebutkan. aku tahu apa kata kata itu, dan aku membantu es di senja itu dengan menyebutkannya.

riang yang muram, kan, es, hidup kita ini.

es tersenyum dan sambil tertawa lucu ia memburai buraikan rambut di kepalaku. lalu ia berkata, aneh ya hidup ini, katanya. aku menyadari tekanan "aneh" yang dimaksudkannya. sudah lama kami sepakat hidup memang aneh, kadang lucu, dan kadang penuh beban soal yang kita tidak mengerti.

sebuah sunyi menghampiri kami dan sebuah lengang membentuk gema dalam hati. sudah senja dan matahari belum juga menghilang. benar, kataku sambil melihat ke lintasan langit. apa yang kamu rasakan sekarang? aku? aku tak merasakan apa apa. atau barangkali aku merasakan apa yang kamu rasakan. sebutkanlah, kataku.

es diam dan kami pun menyebutkan perasaan yang sama dalam hati kami sendiri. lengangnya hidup kita es, kataku. ya hudan: sunyinya hidup kita ini, katanya. aku menutup mulutnya dengan ibu jariku. memintanya agar tak melanjutkan kata kata itu.

lalu kami memandangi tanah tempat kami berdiri. tanah itu dari bata merah yang direkatkan dengan pasir pasir yang ditumbuhi oleh rumput rumput hijau. sejenak aku berpikir nasib manusia seolah rumah pasir: pasir kita tegakkan untuk jatuh kembali. apa saja bisa membuatnya buyar kembali. angin yang kencang atau ombak yang datang dari tengah lautan. anak ombak akan naik dan rumah pasir kita akan terbawa oleh air, kataku.

tak ada suara yang menjawabku. es es, kataku berkeliling mencari dirinya. tapi mataku hanya menatapi bayang bayang kosong dari senja yang sudah mengubah dirinya jadi malam.


selamat ulang tahun ya es, kawan baikku, kawan yang aku mengerti idenya dan dia amat mengerti apa yang kuinginkan dalam dunia gagasan.

* untuk perempuan yang bahagia - es.

hudan hidayat
Jurnal Sastratuhan Hudan


the FINAL THEORY - JURNAL SASTRA TUHAN HUDAN