lanjutan esai hudan hidayat - seminar sastra bandingan di malaysia

13/08/2009 02:15

lanjutan esai hudan hidayat - seminar sastra bandingan di malaysia

hudanhidayat
Sat, 04 Apr 2009 07:38:20 -0700

juga dengan puisi yang ditulis oleh giebran. Tetapi berbeda dengan penyair
blalang yang melihat sudut kebebasan berpikir dalam bingkai ide ide, ide tentang
penafsiran sebuah nilai dalam bentuk relasionalnya dengan tubuh, tubuh perempuan
dan tubuh lelaki, yang kembali lagi kepada arah arah ide itu sendiri, maka
penyair giebran meniupkan kesakitan kesakitan psikologi dalam puisinya.

Masih berelasi dengan dunia tubuh, tubuh perempuan dan tubuh lelaki, tetapi
tubuh di sini telah dipandanginya dengan penuh kesakitan, tubuh yang dilihatnya
dengan pengelihatan estetik yang meniupkan kesakitan jiwa dari pelaku aku lirik
di dalam puisi. Bukan tubuh yang dipandangi sebagai sebuah ide nilai formal yang
dipersoalkan arah arah tafsirnya seperti terbaca dalam puisi penyair bla. tapi
tubuh yang penuh kesakitan seperti puisi dorothea rosa herliany atau binhad
nurrohmat. di mana kesakitan menetap seolah manusia tinggal dalam rumahnya.

Prosa Kunyah : buat hudan hidayat
Kerumunan. Lelaki itu berdiam dalam pintu sebuah rumah. Rumah dengan pekarangan
yang menganga. Dan bau amis darah. Rumah tanpa matahari yang mengeja. Sedikit
terang. Banyak gelapnya. Seperti kisah para pembantai massal. Rumah itu kusam.
Rumah itu…, rumahku.


Masih dalam ranah kreatif dalam soal soal profan dan relijiusitas dalam sastra,
adalah menarik apa yang dituliskan oleh m shoim anwar dalam sebuah cerita pendek
yang terbit di harian jawa pos. di mana shoim anwar jelas membuat sebuah sastra
yang jelas menolak sastra profan, ke dalam sebuah karikatural yang bersifat
cerita pendek. Dalam tulisannya tentang perang bumiputera dan tuk, asep samboja,
dosen sastra universitas Indonesia mengutip cerita pendek itu dalam tulisannya.
Saya turunkan sebuah paragrap dari tulisan asep:

"Cerpen "Berhala di Hutan Kayu" karya M. Shoim Anwar ini pernah dimuat di harian
Jawa Pos edisi 9 Juni 2007. Kemudian, dimuat kembali di Boemipoetra edisi
November-Desember 2007. Cerpen ini sangat karikatural, menggambarkan pro-kontra
pornografi. Shoim yang merupakan cerpenis Jombang ini menyimbolkannya dengan
patung perempuan telanjang yang berdiri di Hutan Kayu yang berhadapan dengan
masjid.

Gambaran Shoim dalam cerpen ini memang sangat frontal. Patung perempuan
telanjang itu digambarkan berada di depan gerbang masjid. Tentu saja hal ini
menimbulkan kontroversi yang tajam. Kelompok penentang pornografi dipelopori
oleh Pak Tais, yang menyuarakan adanya Gerakan Syahwat Merdeka. Sementara pihak
yang pro-pornografi adalah Hudat, Bihat, Benis, Muhid, dan Mariani. Saya
menduga, kalau dikaitkan dengan konteksnya, Pak Tais yang dimaksud adalah Taufiq
Ismail, sementara mereka yang propornografi itu adalah Hudan Hidayat, Binhat
Nurrohmat, Beni Setia, Muhidin M. Dahlan, dan Mariana Amiruddin.

Cerpen ini mirip polemik mengenai pornografi. Dan, ideologi pengarang sangat
tampak di sini. Di akhir cerita, patung perempuan telanjang itu dirubuhkan.
Kemudian, patung itu dibawa ke arah selatan kota. Apakah ini bisa diartikan
sebagai Salihara? Terlepas dari setuju dan tidak setuju dengan pesan yang ingin
disampaikan pengarang tersebut, saya menilai cerpen ini menarik sebagai cerpen
karikatural yang merekam polemik mengenai pornografi yang pernah terjadi di
Indonesia."

Saya akan menyudahi esai ini dengan mengutip herliantiens, seorang novelis yang
telah menulis novel garis tepi seorang lesbian, dalam kata pengantar untuk
novelnya yang mengguncangkan dunia novel di Indonesia.

"saya percaya segala sesuatu yang ada di dunia ini selalu ada sebab akibatnya
yang menyebabkan demam rindu untuk mengenal atasnya. Seperti bulan yang setia
mendampingi bumi, seperti tanah yang setia kita pijak. Subhanallah."

"sebagai catatan, saya seorang muslim, meski untuk sesaat ini saya sempat
mangkir dari kewajiban seorang yang beriman, tapi saya masih sangat percaya
kepada tuhan. Justru karena saya percaya adanya kuasa tuhanlah, dan cinta saya
yang (…) pada tuhan saya, saya menghargai dan menulis tentang semua ini. Saya
sempat beberapa kali membaca terjemahan surat an naml juga surat surat lainnya
tentunya, (dalam quran) tentang kaum nabi luth, hal ini menimbulkan banyak
pertanyaan di benak saya…"

inilah hidup dan kita manusia, seperti tersebut dalam sebuah novel yang
kehadirannya penuh kontroversi, novel tuan dan nona kosong yang ditulis oleh
sepasang pengarang mariana amiruddin dan hudan hidayat, adalah seolah anak anak
nakal belaka di mata tuhan.

Seperti demikianlah adanya.

(hudan hidayat)

- Penggagas angkatan sastra sesudah 2000
- Pemimpin redaksi jurnal sastra tuhan hudan di facebook
- Redaktur budaya jurnal perempuan
- Penggagas memo Indonesia bersama fadjroel rachman, mariana amiruddin dan rocky
gerung
- Redaktur jurnal cerpen Indonesia
- Mengajar penulisan kreatif di IKJ
- Penulis novel tuan dan nona kosong
- Penulis novel kayu api
- Buku cerpen orang sakit, keluarga gila, dan lelaki ikan
- Penulis buku esai nabi tanpa wahyu dan ziarah kata



 

 

 


the FINAL THEORY - JURNAL SASTRA TUHAN HUDAN