SAMBUTAN HUDAN HIDAYAT & KOMENTAR KOHAR ATAS TERBITNYA NOVEL SITOYEN SAINT-JEAN : ANTARA HIDUP DAN MATI

11/08/2009 15:08

 

Sambutan Hudan Hidayat & Komentar Kohar Atas Terbitnya Novel Sitoyen Saint-Jean : Antara Hidup Dan Mati

Oleh : A. Kohar Ibrahim   Senin, 05 Januari 2009

 

 

HH (hudan hidayat) : selamat ya bung kohar. novel itu akhirnya benar-benar terbit. profesi pengarang seperti pegawai: berdebar menunggu gajinya di awal bulan. berdebar menunggu novelnya diterbitkan. atau seperti seorang calon ibu: berdebar menunggu anaknya dilahirkan. mungkin juga seperti tuhan: berdebar menunggu kapan dunia berakhir.

AKI (A.Kohar Ibrahim) : Terima kasih, sekali lagi terima kasih atas sambut-gandengan-mu, Hudan. Iya, begitulah perihal debar berdebaran sekaitan penerbitan itu. Seperti yang dialami sang pengarang pada umumnya – bukan saja dalam hal penerbitan buku, tapi juga tiap hasil karya tulis yang disampaikan ke redaktur media massa atau editor untuk diterbitkan. Begitulah adanya ; beda sekali dengan penerbitan sendiri – seperti macam ragam sarana internet. Dengan adanya sarana internet, maka karya tulis kita itu begitu rampung begitu tertampung terpasang pajang dan tersiar ke seluruh dunia – lepas dari kwantitasnya yang bisa terbatas pun bisa relatip luas.
Bisa juga aku tambahkan soal debar debaran itu,  umumnya juga dirasakan oleh para seniman kreator atau aktor lainnya – pelukis atau artis yang memerlukan sarana ruang pergelaran, pementasan,  tayangan, rekaman dan sebagainya.
Debar debaran itu kiranya memang ragam macam – manakala sang karya itu sudah mesti  bersangkutan dengan publik atau kekuasaan yang ragam macam pula adanya.

HH : dengan riwayat hidup sepanjang itu, saya kira akan sangat menggoda mereka yang berada di perguruan tinggi, menggelut dan bergelut dengan sastra sebagai ilmu dan sastra sebagai ciptaan pengarang. Untuk memecah informasi sejarah itu. bahwa misalnya, bukan hanya pram yang menulis sastra tapi bung kohar juga. atau kawan kawan "lekra" yang lain. dengan jalan menuliskan "sejarah" sastra kontemporer yang bukan versi (terbaru) yang ditulis layun rampan misalnya. sehingga buku buku teks kita tak berhenti pada nama (terakhir) seno gumira dan afrizal malna. tapi merambah kepada bung kohar sebagai wakil mereka yang dulu berpolemik, atau seperti penyair gita tongky itu, hasan aspahani, sampai ts pinang, bla atau gieb, fitrah anugerah, dwi atau pakcik. tentulah mengangkut pula orang the rebel semacam saut dan hudan.

AKI : Soal « riwayat hidup sepanjang itu », sekedar pertanda saja, Hudan. Selain tertuju untuk umum (publik), terutama untuk diri sendiri. Pertanda yang menanda-indikasi-kan ruang dan waktu tertentu aktivitas-kreativitasku – baik sebagai penulis maupun pelukis. Tiap tanda pertanda itu bisa membantuku menyegarkan ingatan. Tiap tanda pertanda itu bisa membantuku untuk menyusun memoar lebih luas dan lebih dalam. Lantaran tiap tanda aktivitas-kreativitas itu pastilah sarat kisah suka-dukanya masing-masing – jika diingat bahwa melakukan suatu kegiatan dengan berbagai ide untuk dilaksanakan tidaklah segampang seperti umumnya dibayangkan orang. Bagiku, tiap perwujudan suatu ide itu memang merupakan perjuangan terhadap ragam macam tantangan. Tantangan dari perjuangan menghadapi sekaligus bagaimana mengatasi ragam macam problematika dalam proses aktivitas-kreativitas yang dijalankan.

Dengan kata lain, Hudan : riwayat hidup yang sekedar catatan-catatan yang bagiku penting tapi seperlunya saja itu, masih bisa dilengkapi dan dikembangluaskan. Akan tetapi, meskipun demikian, cukup memadailah sebagai serangkaian tanda pertanda eksistensiku sebagai pelukis maupun penulis. Alhasil, bukan semata-mata soal kecenderungan yang narkistis, melainkan demi keterusterangan diriku adanya – sebagai daya upaya menentang  pendustaan, penggelapan, penipuan,  pengeksekusian dalam bergagai bentuk dan ragamnya. Seperti dikau ketahui, ah, tak terbilang banyaknya bukti manifestasi aksi yang aku kutuk itu telah membikin manusia menjadi kerdil dan  invalid serta keanehan lainnya. Seperti buktinya, ketika aku bisa pulang setelah sekian dasawarsa jadi perantau terpaksa, banyak orang yang dulu aku kenal bahkan yang terkenal sudah berubah dan tak aku kenal lagi malah ; bahkan pula banyak yang sudah berpulang dengan nama-namanya yang sudah tercincang bahkan tercincang beneran jiwa-raganya – jika bukannya hilang menghilang begitu saja. Dalam kaitan ini, sekedar anekdot, misalnya dulu ada konco sebayaku bernama Cayabulan alias Noermoen yang sama sama reporter People’s Daily dengan Noerzaman, tidak dikenal lagi, kecuali yang bernama mirip pejuang Afro-Amerika Matin L. King ! Ah, ah ! aku nggak tahu, apakah kalau Ajip Rosidi yang menderetkan namaku di sederetan penulis Lekra yang dibredel penguasa OrBa paranoia itu, jika suatu ketika menerbitkan edisi baru bukunya berjudul Kisar Sejarah Sastra Indonesia itu hanya masih sebegitu saja dan bagaimanakah pula dia mencantumkan nama sang Martin anak Medan itu ! Semoga saja Ajip cukup bijaksana dan menjaga keluas-cerahan wawasannya. Maksudku : menjadikan buku sejarahnya itu sebagai pertanda historis yang lebih obyektip dengan keaneka-ragaman hamonis – bak taman raya ragam macam bentuk dan warna warni bunga penulis Nusantara yang bebas merdeka. Artinya, iya, sejarah yang bukan gombal atau tercincang pincang atau bolong bolong. Aku mimpikan adanya sejarah yang mulus bagus – termasuk juga sederetan penulis yang dikau sebutkan itu, Hudan !

HH : penulis esai sastra generasi layun rampan atau yang masih menulis kini, sungguh belum menghayati apa yang saya katakan ini. nyaris tiap buku mereka saya baca dan pelabelan sastra apa yang saya katakan, tak bergerak dari prestasi lama itu. tetapi memang ada pergerakan, saat mereka disodori oleh penerbit tentang suatu tema buku atau nama penyair. tetapi mungkin apa yang saya katakan ini kelak akan berubah: orang orang ini melakukan lompatan keluar, terjun sendiri menyelam dalam kenyataan dunia sastra indonesia mutakhir, yang bertiang juga di dunia sastra cyber ini.

AKI : Semoga. Harapan baik dariku idemdito, Hudan.

HH : di sini juga ada asep samboja, dan kawan kawan lain. dia sudah memulai dengan apa yang saya katakan. yakni menatapi saut situmorang. itu sebuah upaya yang baik. kelak konteks "apsas" mungkin akan dia lepaskan. terjun sendiri merambah apa yang memang patut dan pantas dirambah.

AKI : Iya. Semakin jadi perhatianku juga, Hudan.

HH : sastra indonesia sehat sehat saja. dia laju walau orang orang tua masih juga memimpikan peran king maker, dengan sadar atau tanpa sadar. tapi dengan orang tua, yang saya maksudkan semua mereka yang terlibat dalam produksi wacana sastra. jadi dunia pers juga. pengamat apalagi.

AKI : Semoga sastra indonesia sehat dan bergerak maju lebih semarak – dalam kwantitas maupun kwalitas dan keragam-macam-annya.

HH : sekali lagi selamat bung kohar. kami yang lebih muda usia ini akan terus membuntuti produksi kreatifitasmu yang meruah ruah itu. tentulah membuntuti bersama juga ziyi hehe.

hudan hidayat

AKI : Terima kasih atas perhatian dan harapan serta kesan sekalian pesanmu itu, Hudan. Semoga kesehatanku pulih kembali, demi meneruskan ibadah yang kita geluti. Selamat Tahun Baru Hijrah 1430H & Tahun Baru 2009M  – Teriring Harapan Harapan Terbaik !

Catatan :
Naskah tersebut di atas merupakan komentar Hudan Hidayat di milis Apresiasi Sastra (Apsas) 27.12.2008. Judul dari AKI.
Hudan Hidayat sastrawan kritikus, novelis, cerpenis dan penyair. Biodatanya dapat disimak di : https://www.sastraindonesia.net/

 

 


the FINAL THEORY - JURNAL SASTRA TUHAN HUDAN