TUAN KOSONG TENTANG NONA KOSONG

13/08/2009 02:25

mariana amiruddin - pengarang novel tuan dan nona kosong

hudanhidayat
Thu, 05 Feb 2009 19:48:05 -0800

 

 

pengarang novel tuan dan nona kosong: mariana amiruddin

mariana,

kawan kita fadjroel sering mengutip rimbou: pertarungan jiwa sama
brutalnya dengan pertarungan di medan tempur lainnya. sudah lama saya
bersama mariana bertarung dalam novel kami tuan dan nona kosong,
bertarung seolah don kisot melawan kincir angin dari angin angin
dunia. sudah lama kami tahu pertarungan semacam itu tak kan membawa
kami kemana mana kecuali kekosongan itu sendiri - bunyi musik di hati
kami sendiri. arah lain dari tiap kemanusiaan yang berlagu ke dalam
hati kami sendiri. 

ke manakah arah lagu dunia sekarang?

tidak kemana mana kecuali ke arah lembah dukanya dunia. dari dunia
yang retak di tiap tepinya. retak politik dalam konflik. retak ilmu
dalam cabang cabang ilmu. di sanalah kita membawa punggung kita
sendiri. punggung yang bermata. yang menatap awas tiap gerakan. tapi
luput dari dalam.

kedalaman yang membuat payah. orang bilang sakit. tak perlu kita
bercakap dengan frud untuk sakitnya jiwa ini. cukup berkaca dengan
jiwa kita sendiri. jiwa kita yang sakit mariana.

lihatlah kawanmu itu menenggelamkan diri ke dalam sungai dengan
mengikat mata kakinya dengan sebongkah batu. tapi lihatlah pula camus
yang berteriak lantang?: sudah cukup alasankah untuk bunuh diri? bunuh
diri filosofis dan bunuh diri fisik sendiri. dalam pengertian tertentu
ia yang mendaki gunung dengan batu di pundaknya adalah bunuh diri
juga: tak bisa menghindar dari kutuk dewa dewa. tapi kini dewa dewa
telah mati jadi kita suka rela membawa kayu salib kita sendiri. kayu
api dalam bahasa sebuah novel. kayu api dalam keruwetan pecah tiga
dalam duniamu: birokrasi yang tah hendak sudah dan ah, tak pernah ada
ujungnya.
 

begitulah dunia seorang perempuan pengarang besar indonesia. haraplah
dicatat: besar bukan dalam cakupan media massa yang suka terlambat
memindai itu. tapi besar dalam tema dan jauhnya jangkauan sending dari
tiap tiap katanya. besar dari seorang pengarang agus noor yang
terlambat juga dipindai oleh sastra indonesia mutakhir. tapi ini soal
lain lagi.

mariana amiruddin yang mengaku sudah setahun tak bisa menulis lagi,
karena tercabik di tiap tiap medan pemikiran yang hendak menuntut tiap
kehadiran dirinya. dan inilah wajah absurd yang lain itu. absurd dari
konvensi birokrasi yang kini sudah melebihi laba labanya max weber.
birokrasi yang seolah wajah kamar mandi dari perselen putih afrizal:
tuan aku hendak bunuh diri di kamar mandi ini. bolehkah?

dengan apa kita hendak jawab dunia? dunia yang tak hendak menghapus
tangis tiap warganya. terbaca air mata dalam tiap dinding rumah orang
dan tiap jiwa rumah orang. tak dengan apa apa kecuali mengeras seperti
tarrow, dalam sebuah kejang sedih: kabarku, kabarku rieux, aku sedang
kalah dalam pertandingan ini. tapi kalaulah aku kalah aku hendak
membuat saat saat indah dalam detik detik akhir ini.

itulah suara orang yang ingin jadi santo tanpa tuhan.

ia bayangkan ibunya yang tak hadir dan ibu reiux menjadi pengganti
ibunya yang tak hadir itu: perempuan tua yang lembut dengan harapan
bernard anaknya bahagia, keluar sebagai pemenang dalam pergulatan mati
hidup melawan sampar yang absurd. siapakah tapi yang keluar sebagai
pemenang? tak siapa siapa. seorang kafka terbaring kalah di ranjangnya
sendiri dan ia menjadi kecoa. seorang pedagang keliling yang dibunuh
oleh cepatnya waktu. dan ia bosan dengan semua itu. sampai waktu
mencekiknya dan pada suatu pagi ia dapati dirinya kini telah menjadi
kecoa. suaranya berdengung seolah binatang yang sekarang di
ranjangnya: tak bisa bangkit sebagaimana biasa.

itulah imaji surealis dari pengarang yang sakit jiwa itu. yang tiap
saku sakunya walau sudah dewasa selalu diintai oleh ayahnya - tuan
yang kulihat dalam jiwaku seolah negara modern dengan birokrasi yang
menakutkan itu.

seperti mar kini ah persis seperti mar kini aku sudah terkapar lama
oleh birokrasi. birokrasi dari wajah manusia yang memeluk konvensi.
maka kutenggelamkan diriku di lautan bir. kujadikan diriku melawannya
dengan bergerak sebagai manusia fiksi.
 

tapi diri tak hendak tidur juga. wajah kesepiankah yang menggaruki
tiap punggung jiwa kita itu? entahlah. sering terbaca ia seolah uluran
tangan seorang ibu kepada anaknya. atau ayah yang galak menyuruh kita
makan saat kecil. entahlah. sudah lama jiwaku tak berpegangan lagi.
apa apa yang datang dari langit dan dari bumi tak satu pun membuatku
percaya. aku seolah layang layang yang putus dibawa angin. ah angin ah
angin kau lah memang kawan yang setia. tapi kau bawa kami kemana?

seolah kudengar mariana sedang memasuki pusaran angin dari ciptaannya
yang hendak lahir, dari kesukaran tehnis sukar menulis yang kelak
meledak dalam jiwanya sendiri. terburai dalam tiap peristiwa dan
renung atas hidup dalam novelnya. lihatlah ia mengayun dengan esai
pendek, khas seorang perempuan pemberontak yang tenggelam dalam
kenikmatan. sakit yang nikmat dari jiwa yang tak hendak normal. sakit
yang memang dibutuhkan oleh tiap ciptaan besar. harga tiap ciptaan tak
sembarang orang mampu membayarnya. itu adalah sepi bahkan dari jiwa
kita yang paling gelap sepi itu tak terbaca. telah kulalui semua itu
dalam malam malamku sendiri penuh air mata di bawah banner sana. dari
jiwa seorang lelaki yang ditolak dunia dan ditendangnya dunia ke dalam
sepinya sendiri. sepi yang paling rumit dan tak ada penyelesaian
kecuali berenang dalam sepi. bir dan onani bukanlah jawaban lagi.
hanya kata sebagai pelampung, tapi penyelamat dari dunia sepi. kata
yang tak hendak datang dipaksanya untuk datang.

datang kau padaku datang kau padaku apa yang membuatmu bisa datang kau
padaku. kuserahkan diriku ke dalam pelukan iblis paling iblis bila
perlu. itulah harga dari dunia ciptaan yang tak semua orang mampu
menjangkaunya. mendekatinya pun tak. aku telah melewati semua itu dan
turun ke lembah tapi lembah itu sepi juga yang ada. tak hendak mampus
dikoyak sepi seperti frasa chairil. kujawab sepi dengan sebuah
tendangan ke perutnya seolah rendra. sering kulihat kawanku yang
paling sunyi dalam hatiku itu melambai. seolah kami naik kuda putih
menulis novel lagi. tapi diri terbenam dalam sepi dan diri terbenam
dalam birokrasi. hati manusia siapa yang sanggup mengalahkan? pun sepi
tak bisa membunuh semangat yang menyala nyala ini.

pitstop mariana.

ingatlah jurus rahasia dari perguruan sastra kita itu.

perguruan paling gelap dan paling penuh ruba dalam hati manusia.

keunyahlah popor senjata sebagaimana rimbaud telah mengunyahnya dan
aku pun telah mengunyahnya.

pitstop mariana, jawaban jitu dari jurus jurus sastra kita dulu.
menulislah dengan kedalaman dan keotentikkan dirimu itu. lainnya hanya
interval saja - rasa sepi itu. rasa seolah tercabik cabik itu.

hudan hidayat

Updated 24 minutes ago - Comment - Show Comments (4)Hide Comments (4)

Deasy Nathalia at 7:52pm February 1
wuih..kau selalu berhasil membuatku tercengang-cengang mas atas
karyamu...baravo !

Weni Suryandari at 7:55pm February 1
Aku capek membacanya Bang Hudan. Ada pergolakan pemikiran di Mariana,
aktivis perempuan. Aku kagum padanya. Pun aku lelah juga membaca
gundahmu Bang. Nampak letih....

Hudan Hidayat at 8:02pm February 1
karena kamu sendiri itu membuatku tercengan-cengan deasy maka kita kau
dan aku itu sebenarnya sama paling aku lebih jam terbang dikiiittt aja
hehe iya!

Hudan Hidayat at 8:06pm February 1
aku tak letih weni: kujalani saja hidup ini kemana langkahku membawa
kaki yang sakit ini berayun. sering mata kakiku berkata padaku: hudan
mari berhenti. aku jawab: tidak. aku akan terus. kemana, katanya.
entah, kataku. kudengar suara di ujung sana. seolah tepi batas yang
memanggil manggilku. kembali, katanya. tidak kataku. aku tak mau
kembali. aku mau menemui masa kecilku yang terbakar di buritan kapal.

 

 

 


the FINAL THEORY - JURNAL SASTRA TUHAN HUDAN