FILSUF JAWA : NURUDDIN ASYHADIE MEMBUAT SAJAK CULUN UNTUK HUDAN

11/08/2009 13:54
Blog Entry filsuf jawa : nurruddin asyhadie : sajak culun untuk hudan sajalah Sep 21, '08 1:41 AM
for everyone

Adakah pukul 00 itu?

Tidakkah waktu tak berjalan walau hari masuk ke tubir malam? Bergulir ke dalam persekian detiknya? Masuk ke dalam waktu yang lain. Tapi nurruddin sang filsfuf dan sang penyair menamakan waktu dalam puisinya: pukul 00. Lalu ditambahinya titik sebelum menuliskan 00 kembali.

(adakah anak panah itu benar benar melesat dari busurnya? Bukannya berhenti di tiap perhentian yang dilaluinya. Perhentian di udara sebagai lintasan anak panah yang melesat di langit)

Apakah yang dikehendaki oleh penyair ini, dengan penulisan waktu seperti itu?

Sudah jelas waktu menangkap tanda. Tanda dari keadaan yang berjalan. Dari jagad yang tak pernah berhenti.

Masih menjadi kontroversi hingga hari ini: adakah universe mengalami putaran yang tiada sudah, yang mana tak ada waktu dalam putaran seperti itu. Waktu untuk dinamai sebagai tanda waktu: pukul 12 umpamanya.

Waktu bagi kebudayaan juga untuk bekerja. Di mana orang orang membangun, teori tentang kemungkinan jagad raya dimulai dari ledakan besar itu. Yang dengannya bergulir pula waktu yang kita kenal kini: waktu nurruddin menuliskan puisinya.

tapi kembali: mengapa manusia setengah filsuf setengah penyair ini, menuliskan waktu dalam pusinya sebagai waktu yang seolah menjadi tonggak untuk putaran waktu: 00. Lalu mengapa harus ditambahkannya titik sebelum menuliskan kembali: 00 itu.

Adakah ia hendak membuat pengingat pada kita: dunia bukanlah dunia yang tiada berkesudahan, seperti yang diimajinasikan oleh sebagian ilmuwan. Tapi dunia yang dimulai dari awal dunia – ya ledakan besar itu.
Tapi dunia sesudah ledakan besar itu kelak akan berhenti kembali. Makanya sang penyair member tanda pengingat kepada kita: . – titik.

Bahwa itulah kebenaran yang tak bisa ditafsir lagi: memang ada dunia penciptaan itu. Oleh sebuah titik.

duhai betapa berartinya titik ini. Bukankah darinya segala garis dan segala lengkung bisa ditarik. Sebagai waktu yang melengkung kata raja fisika abad 20: enistin. Sebagai lengkung waktu yang kelak menjadi 00 kembali. 00 dari waktu yang berhenti setelah tanda titik.

Saya tergoda untuk memasuki implikasi dari kemungkinan yang mungkin tak hendak dikatakan penyair: titik sebagai tanda tuhan. Sebagai tanda tuhan turun ke dunia dengan metaphor dirinya: titik. Yang kelak membuat tafsir berkepangjan di antara kita. Tafsir yang akan berhenti bila saat itu tiba: akhir dunia.

Maka terbaca: dari tiada menuju ada untuk kembali ketiada kembali. Itulah 00 dengan titik dan 00 lagi itu. Setelahnya penyair mulai mengingatkan dunianya sebagai dunia yang terbelah: dunia dari masa kanak yang dipandang dari kekinian. Seolah tuhan memandang mahluknya dari keakandatangan. Di mana nurruddin datang dari jauh dan tuhan melihatnya melangkah menuju dirinya, dari kejauahan itu.

Lihat ia datang padaku, ke sebuah titik ini. Untuk lebur ke dalam diriku bersama 00 ini.

Tetapi membawa apakah datang itu?

Seseorang datang dari jauh membawa buah tangan.

Tetapi nurruddin membawa kekonyolan. Kabar tentang hidup yang konyol. Dari laut yang membawa hidup tapi segera tersambar maut. Bergerak cepat dari hidup ke mati.

Berkata kata kepada sendiri tentang mati: aku, yang digeser ke kita – bisa digeser pula ke kamu ke kami. Untuk berputar kembali ke kita – ke aku.

Hidup memang menyediakan dirinya untuk perseorangan dalam kekonyolannya. Konyol dari hidup ke mati. kita masih bercakap tentang hangat laut. Tapi lihatlah: debar menunggu maut. Begitu cepat sang penyair menangkap suasana. Begitu cepat ia menangkap makna dan memindahkannya ke dalam bahasa.

cukuplah. Itulah esensinya. Kopi boleh tumpah boleh tak tumpah. Hanya iseng. Seolah fungsinya sebagai minuman untuk tubuh menghilang. Seiring dengan kematian yang walau tubuh masih hidup tapi telah menjadi bayang-bayang.

Maka apa lagi yang tersisa? Tidak ada.

Mainkanlah sebuah requiem untukku.

Siapkanlah peti mati walau kita masih hidup di dunia ini.

Ada kehendak untuk menegak makna. Kehendak untuk menangkap sedikit keseriusan berhadapan dengan waktu. Tapi tak pernah kumainkan hidup, meski ia tonel belaka. Tapi apakah akhirnya?

Wajah kematian juga di sana.

sial.

selalu menyerah selalu kalah.

Alice atau allie, saudara perempuan saya dalam gempa waktu, membenci kehidupan dan mengatakan hal yang sama dengan suara: saya menyerah! saya menyerah!

Tapi nurrudin sang penyair, setengah filsuf setengah penyair, tak membenci kehidupan. Walau berkata menyerah juga.

Dikonkretkannya sebuah abstraksi hidup ke dalam kenangannya – ke figur sang ayah. Dibawanya ke dalam imaji yang konkret – hidup yang abstrak itu. Sebagai seorang ayah yang memiliki kenangan terhadap anaknya, atau anaknya yang memiliki kenangan terhadap ayahnya.

Dibawanya saja kekalahannya ke dalam adegan ugal-ugalan yang datang dari sebuah masa kanak.

"mungkin ia masih ayah yang dulu, yang suka hadiahkan kita
topi koboi dan pistol-pistolan. "

hidup memang cerita koboi dengan pistol di tangan. Barangkali benar sang penyair ingin menembak kehidupan. Membalik posisi seorang filsuf: kehidupan seperti ditembakkan kepada kita, dan kita tidak bisa berkata: tunggu dulu, saya belum siap!

Tapi sang penyair menembaknya dengan tawa.

Membalikkan kekalahan dengan canda.

Tuhan bisa digambarkan sebagai ayah yang memberi anak anaknya dengan mainan. Bisa pula bergerak kepada sosok ibu dengan vagina ibu dunia. Tapi lupakanlah semua itu, karena pada dasarnya, kita adalah piatu.

Jadilah anak hidup yang piatu, sendirian di atas dunia. Dan tembakkanlah pistolmu dengan peluru: ha ha ha ha.

Masih belum cukup?

Buat iseng yang lain dari peluru yang lain, dan tembaklah: masukkan racun ke dalam cangkir kopi. Lalu reguk sampai tetesnya yang terakhir.

Maka segala pedih dari alam, segala pedih dari diri, akan kau nikmati dari dalam cangkir kopi, yang meluber tumpah karena keisengannya.

Hudan hidayat
------------ --------- --------   

pk. 00.00


kita masih bercakap tentang hangat laut. debar menunggu maut.

kopi yang kau tuang meluap ke atas meja ke atas lantai;

"mainkanlah sebuah requiem untukku!"

secangkir kopi ternyata tak cukup berarti lepaskan dahaga atau

hanya iseng tak lebih sebuah iseng

"tapi tak pernah kupermainkan hidup, meski ia tonel

belaka. tapi tak pernah kupermainkan hidup," ujarmu pada waktu.

lalu kitapun menyerah.

selalu menyerah selalu kalah. sial.

"mungkin ia masih ayah yang dulu, yang suka hadiahkan kita

topi koboi dan pistol-pistolan. "

ini mimpi kanak-kanak. kembali tawa kembali mimpi.

"kusembunyikan topimu di bawah ranjang, sebab punyaku hilang

digasak anak pasar. tapi kau tak tahu. kau menangis dan mengadu. lalu

apa ia bilang: jadilah anak hidup yang piatu,

lupakan mimpi lubang rahim ibu!"

ha ha ha ha ha.

reguk tetesan akhir, kau tuding malam dengan cangkir

"kucampuri kopi ini pestisida, baygon, cyanida!"

reguk tetesan akhir kau acung rembulan, bintang, bima sakti, galaksi-galaksi

segala pedih.


 

 

 
 
12 CommentsChronological   Reverse   Threaded
bbbnshoes wrote on Sep 21, '08
Wah..sajak orang bunuh diri ??
hudanhidayat wrote on Sep 21, '08
thx ya be. bentar aku lagi menuliskannya. salam untukmu be.
hudanhidayat wrote on Sep 21, '08
suara hujan apa kabarmu? belum batalkah puasa?
lucu ya penyair nuruddin kita ini. de filsuf neng penyair. kayak kalian: penyair tapi bukan filsuf idih filsuf hehe
langitparamesthi wrote on Sep 21, '08
SaJak'na keRuen ueY..
:)
hudanhidayat wrote on Sep 21, '08
masa seh langit? yang bener? sajakmu juga keyen kok. suwer.
langitparamesthi wrote on Sep 21, '08
Hauhauhau,mas hudan ini..
:)
saYa suka bAcA pembAhasan'na mas..
ApaLagi kLo sYair2 beGini..
:)
hudanhidayat wrote on Sep 21, '08
tapi belum selesai. entahlah kenapa. mungkin aku mulai lelah. mungkin karena udah jarang minum ya. main kata kata mulu. aduh lelahnya diriku.
suarahujan wrote on Sep 21, '08
widih..tuing..hehe..
lagi cape mas..lìat hujan huruf
huruf
huruf
spasi..
duh mumyet aku..
bentarlah..baca2 dikit2
komen2 gak penting, gak mutu dan gak guna..huehe
bbbnshoes wrote on Sep 21, '08
Hahaha..bang hudan rindu botol beer, eh birnya ya bukan botolnya hihi
bbbnshoes wrote on Sep 21, '08
Eh, aq lagi ngopi ngopi sambil nyulut kembang api ni bang, mau? Buat ngusir lelah hehehe
hudanhidayat wrote on Sep 21, '08
ojo no nduso eh mau hung be gelem aku kopi be kerun kui
hudanhidayat wrote on Sep 21, '08
komen apa tu yang gak guna suara hujan hehe
 

 


the FINAL THEORY - JURNAL SASTRA TUHAN HUDAN