GEOMETRI TERTAWA

05/08/2009 21:33


Geometri Euklides bertemu dengan kepastian Descartes: setiap dua titik dapat
ditarik sebuah garis lurus, sejajar dengan "aku berpikir maka aku ada".


Kita bisa memasuki permainan pikiran ini dengan pernyataan lain: setiap
pikiran yang dituliskan akan menghasilkan aksara atau dunia tanda.

Itulah hipotesis yang tak perlu berepot membawanya ke dunia laborat: kita bisa
mengerjakannya sendiri dan saat ini: mengambil pena dan meletakkan dua titik
secara berjauhan, lalu menghubungkan kedua titik itu dengan satu garis lurus.
Saat kita melakukan itu pun pernyataan Descartes sudah dan sedang berlangsung:
adanya diri kita yang sedang membuat sebuah garis lurus. Begitu juga saat kita
melontarkan pikiran itu ke dalam dunia tulisan.

Tapi, apakah itu dunia kepastian, sebagaimana ilmu mengangankan untuk dirinya?
Tidak. Itu tetap dalam tingkatan hipotesa karena belum terjadi.
Berulang-ulangnya ketiga rangkaian pernyataan itu bukanlah sebuah kepastian,
sesuatu yang pasti terjadi, yang kepastiannya memiliki tingkat keharusan yang
abadi. Karena ketiganya adalah kepastian di tingkat nalar logis, bukanlah
kepastian di tingkat kejadian yang akan dan pasti terjadi.


Sebab gampang sekali kehidupan mematahkan kepastian seperti itu: cukup dengan
kematian, atau hilangnya nalar logis dalam diri seseorang. Apakah Descartes saat
tidur bisa berkata: aku berpikir, maka aku ada? Bukankah dirinya sedang tidur
yang berarti kesadaran pikirannya ikut tertidur, seperti benda yang dalam
keadaan istrirahat dalam kalimat pertama hukum Newton yang pertama? Dengan cara
yang sama kita bisa menghilangkan kata "kepastian" yang hendak dilekatkan
kepada kedua pernyataan lainnya.

Maka kepastian adalah sesuatu ilusi, kehendak imperatif pada pikiran: menjangkau
fenomena benda dan makna, sebagai sesuatu yang bernilai stabil dan tetap.

Bahasa matematika tak tergoyahkan, kata orang. Tapi lihatlah kita telah
mematahkannya ke dalam ruang dan rentang definisi arti kepastian di tingkat
logika, dengan kepastian di tingkat kejadiannya. Dunia selalu adalah dunia yang
menyisakan sebuah ruang, ruang yang mungkin. Dengan kata "mungkin", di
situlah sang mahluk menjadi berendah hati atas dunia ini.

Katakanlah "insya allah", jangan kau katakan pasti terjadi. Sebab ilmu, atau
sains, betapapun digdayanya, adalah mustahil menebak apa kepastian yang akan
terjadi besok. Baik pada tingkat semesta maupun dalam dunia manusia. Selalu,
yang abadi itu adalah sebuah kemungkinan. begitu kaum agamawan.

Kedigdayaan dunia mekanika Descartes dan Newton selama ratusan tahun, akhirnya
berguguran ketika fisika baru menemukan sesuatu yang aneh dalam fenomena dunia
atom atau subatom. Betapa di sana partikel-partikel atom menunjukkan wajah yang
tak pastinya. Sifat yang paradoks yang telah membuat klaim fisika Newton tidak
bisa dioperasikan lagi.

Selintas teringat kehendak dalam angan Kredo Puisi Tardji saat menyimak dunia
atom fisika abad 20: betapa atom berloncatan tak tentu arah sebagaimana dunia
puisi Tardji yang tak hendak tunduk dengan irama puisi dari sebuah tradisi puisi
(setidaknya tradisi puisi di Indonesia). Bahwa atom pembentuk bahan dasar dunia
itu, karena sifatnya yang berlainan dengan sifat yang dilihat oleh Newton, telah
membawa implikasi yang tak terpermanai akan kenyataan dunia.

Kini kita jadi tahu bahwa, misalnya, ruang dan waktu yang absolut dalam
paradigma Newton, patah oleh ruang dan waktu yang relatif dalam paradigma
Einstein.

Orang bisa berkata itulah watak kebenaran ilmu dan watak kemenyingkapnya
fenomena dunia: bahwa alam membukakan dirinya selapis-selapis, sedang manusia
setahap demi setahap memperbarui metode ilmiahnya. Tapi bagaimana dengan fakta
perdebatan legendaris antara Einstein dan Bohr, dua orang yang relatif
memiliki paradigma yang sama dan peralatan metode yang sama dalam dunia fisika
baru itu? - metode ilmiah.

Mengapa Einstein sampai akhir hidupnya tidak menyetujui implikasi dari kenyataan
fisika kuantum?

Sayup-sayup terbaca karena Einstein tetap percaya kepada dunia eksternal yang
menguasi dunia benda-benda, sedangkan fisika kuantum menolak, atau
memperlihatkan sebuah gejala di mana sebab dan akibat tidak harus berlaku dan
tidak harus terjadi di dunia atom. Dunia di mana dalam fisika atom
partikel-partikel yang tak tunduk pada hukum tapi mengacak-ngacak hukum. Yang
karena itu Heisenberg menyebutkannya sebagai prinsip ketidakpastian.

Capra mengutip Einstein, betapa fisika baru itu telah membuat dirinya
terguncang.

"Semua usaha saya untuk menyelesaikan landasan teori fisika dengan pengetahuan
(jenis baru) ini telah gagal sama sekali. Rasanya seolah-olah tanah tempat kita
berpijak telah diambil dari bawah, tanpa ada landasan kuat lainnya yang dapat
dijadikan sebagai tempat untuk mendirikan bangunan".

Apa yang hendak kita katakan kepada klaim ilmu yang mendeklarasikan, atau sering
dinyatakan, sebagai dunia yang stabil? Di mana beroperasi dunia matematika
dengan bahasanya yang serba pasti, dan karena tingkat kepastian inilah maka
tingkat kepastian dunia benda seolah bisa dijangkau sebagai kenyataan yang sudah
dipastikan - sains, ilmu yang bisa memastikan fenomena benda-benda. Toh
kenyataannya kedua pendekar ilmu itu bertengkar tak habis-habis pada pokok soal
yang sama: dunia di mana keduanya ikut menyemainya selama puluhan tahun: fisika
kuantum.

Saya sendiri percaya bahwa kebenaran ada dalam tiap tiap tingkatannya. Tapi
kebenaran yang bukan dalam kepastian terjadinya. Tapi kebenaran logis atau
kebenaran logika. Inipun bergantung dalam ruang dan dalam waktu, sebagaimana
telah ditunjukkan kedua fenomena fisika klasik dengan fisik baru, atau dalam
perdebatan panas kedua jagoan fisika kuantum: Bohr dan Einstein.

Dunia rasional dan moral Yunani belumlah lama, juga tahapan-tahapannya kemudian
yang kita kenal sebagai lintasan tengah, abad ilmiah sampai dengan era teori Big
Bang dan teori Theory Everything. Katakanlah telah berlangsung sekitar tiga ribu
tahun, dengan dijumlahkannya tahun-tahun sebelum masehi, dengan membuat
simplikasi tahun-tahun sebelum masehi.

Sedang alam semesta telah terentang puluhan milyar tahun dan kehidupan ratusan
juta tahun. Alam semesta pun akan terentang ke depan miliaran tahun, ini pun
kalau kita mengikuti kemungkinan usia matahari, benda gas yang kelak kemudian
akan kehilangan panasnya dan mengerut ke dalam dirinya sendiri.

Maka apakah yang akan terjadi pada masa depan? Akan bermunculan fenoma-fenomena
alam yang tak terkirakan, di mana manusia menjawabnya dan pasti akan melayaninya
dengan tingkat dunia pemikiran yang lebih canggih.

Rentangan-rentangan itu, kalau dalam dunia informasi agama, telah dirangkumnya
ke dalam buku induk yang memuat kabar tentang alam semesta: kitab lauh mahfuz.
Kitab di mana tiap kejadian tentang semesta dan segala isinya ini telah
dibuatkan olehnya dan dicatat dalam kitabnya. Karena itu ia bermetapora:
kumpulkanlah tujuh lautan dan tujuh gunung dan jadikanlah batangnya sebagai pena
dan air lautnya sebagai tinta, tak akan juga selesai menuliskan ilmu tuhanmu.

Maka ungkapan penemuan terbesar, atau penciptaan terbesar, baik di ranah ilmu
atau di ranah sastra, bagi saya nampak menggelikan. Sama menggelikannya dengan
mereka yang serupa kanak-kanak yang terpukau dengan keajaiban nalar dan ilmu,
dengan melekatkannya sebagai sebuah dunia kepastian untuk menjangkau kebenaran
terhadap fenomena alam. Sebab tak ada kebesaran di tengah dunia di mana tuhan
menyingkapkan rahasianya dan menjawab rahasianya dengan ilmunya yang diturunkan
pelan-pelan itu.

Tapi begitulah hidup ini, hidup sebagai rangkaian teka-teki di mana manusia
sebagai anak-anak komedi.

Di sana tuhan geli sendiri, di sini kita bersedih hati.
Mengapa kita tidak ramai-ramai tertawa saja?



Hudan Hidayat

 


the FINAL THEORY - JURNAL SASTRA TUHAN HUDAN