HUDANOSCH HUDAN alias HUDAN HIDAYAT TENTANG KAYU API

13/08/2009 02:36

 

Hudanosch Hudan


novel keduaku namanya kayu api. aku sayang sekali padanya. mungkin saut benar:
bagaimanapun, aku adalah prosawan, bukanlah seorang penyair. agak aneh juga:
orang lain mungkin sukar menulis novel, aku tidak. menulis novel, bagiku
semudah menulis cerpen atau esai. aku bisa sret langsung menuliskan ketiga itu.

keenggananku dengan dunia kutipan, agak membantuku juga: aku bisa langsung
masuk ke pokok soalku sendiri, tanpa harus bersibuk dengan pelacakan data.
kelak, kalau memang memerlukan data, aku tinggal menyusur apa yang kubutuhkan
itu.

banyak yang aneh dalam hidup ini. yang kurasakan adalah aku dan tertibnya
situasi. aku selalu mengangankan suasana yang bersih dan tertib. misalnya buku
buku, dan tempatku bekerja. tapi makin kuangankan makin tak tertiblah kedua hal
itu.

selalu tempatku bekerja itu kumuh dan kotor. tempatnya sih bagus, tapi
kebiasaanku yang menyebabkan ia kumuh dan kotor. misalnya rokok dan makanan.
aku selalu merokok dan mulailah abu rokok dan puntung rokok di mana

Yuswan Taufiq
hehe, sama. Abu rokok, bungkus rokok, makanan dan bekas bungkusnya masih selalu
krasan di dalam ruangan hehe

Iwan Gunawan
aih .. aih .... sama juga bang .... yakhh ... apalah buat ...

Hudanosch Hudan
mana. mungkin aku bisa meminum kopi kental tanpa gula sepuluh gelas sehari.
mungkin aku percaya: kopi bisa membunuh nikotin. dan kukira itu benar: diriku
asik asik aja, banyak ngopi dan banyak merokok. tak ada sesuatu pun yang
kurang. hanya puntungnya itu: berceceran di setiap talam cangkir kopiku. kadang
aku membuangnya begitu saja tanpa asbak lagi. dan jadilah seputar kursi tempat
sehari hari aku membaca dan menulis, penuh dengan puntung dan abu yang
berceceran itu.

belum lagi buku buku. tak banyak, tapi ia seolah kabel kabel dari tiang listrik
yang berpalangan di atas udara. tak tentu arahnya. sering buku buku itu
demikian ruwet letaknya, setelah suatu hari aku menghabiskan seharian waktu
untuk menyusunnya. belum lagi seminggu ia sudah bergeletakan di sana sini.
sehingga aku mulai sukar mengambil data yang kuperlukan. sehingga jadilah aku
penulis tanpa data.

besok, semuanya akan kurapikan, kataku. dan tanpa kusadari waktu telah berjalan
berbulan bulan. semua itu masih saja seperti

Hudanosch Hudan
keadaannya semula: tak teratur.

itulah latar membuat aku malas merapikan semua kerjaku: tulisanku makin
melimpah limpah, tapi aku tak kuat menjadikannya dalam suatu kumpulan sehingga
ia menjadi satu naskah yang selesai.

ada juga soal dorongan menulis setiap hari. dorongan yang datang dari dalam
diriku sendiri. menulis, sehingga tema tema luput dan fokus selalu berganti
arah. kubayangkan kerja memang harus ada yang memegang, sehingga apa yang telah
kita mulai mewujud hingga selesai.

tapi apa pula pentingnya, nah ini membuat kesukaran sendiri: apa pula
pentingnya. sudah lama aku memasuki pikiran ini. tak penting ah, harus jadi
buku. note juga kan buku.

sebenarnya pikiran ini benar. tapi biarkan sajalah. kelak orang tahu juga ada
buku di sana. lagi pula aku kini sudah kurang perduli lagi: buku atau tak buku.
aku hanya perduli: apakah hari ini aku dapat tulisan bagus atau tidak. buku,
dulu memang menggairahkanku. kini tidak lagi. sudah banyak sekali aku membaca
buku,

Iwan Gunawan
he he he ... sebuah gua yang kusam, dimana perintah baca diperintahkan, tanpa
terasa kisah ashabul kahfi terjelma dalam diri Hudan. Angannya berlari ke
depan, sementara badannya dalam kekinian. dimana di masa depan transaksi sudah
tidak melalui lembaran uang, tapi hanya dengan kedip mata, makan gado-gado
sudah di depan mata dengan seorang gadis siap menggoda. asyik bang ....

Hudanosch Hudan
dan tahu kalau bab babnya dicopoti ia jadi note yang sama dengan note di fb
ini. dikembalikan ke awalnya jadi buku lagi. jadi apalagi? tidaklah. biasa
saja. lagi pula aku tidak punya hasrat seperti dulu lagi: membawa bukuku ke
mana mana. sekarang cukup di tempatku saja. buku atau tidak buku, akan diambil
orang atau tidak. dibaca atau dibiarkan, semua itu sudah tidak menarik minatku
lagi. tapi aku sangat memahami, kalau seseorang belum punya buku. tentulah ia akan
bergairah sekali. dan tentulah itu akan menjadi pertaruhannya.

Hudanosch Hudan
pernah mungkin untuk lima atau empat bulan, aku kerja tiap hari. pagi, siang,
malam, dan jarang sekali aku bergerak dari kursiku. bahkan untuk makan dan
buang air kecil pun. suasana seperti itu kini terasa aneh, dan nyaris mustahil.
kalau kupikirkan kini: bagaimana aku bisa tak bergerak seperti itu. tak masuk
akal.

sering aku malam kelaparan, dan tak mau bergerak untuk mengambil makanan. atau
untuk sekedar kencing di tempat di mana seharusnya kencing. aku duduk saja
menahankan lapar dan menahankan kencing, sambil terus bekerja. mungkin tak
menulis, hanya membiarkan pikiranku mengembara saja. tapi biasanya menulis.

kudengarkan perutku yang lapar, dan kadang aku tertawa: begitu ya, rupanya
kalau orang lapar itu. tak bisa fokus. dan inginnya hanya marah saja. tapi aku
kendalikan baik baik rasa marah itu. ini kan dunia yang kupilih sendiri. aku
tak berhak marah pada apapun. aku harus tahan, dan sanggup mengatasinya.

kau cukup bergerak tiga atau empat langkah, dan mungkin ada makanan

Yessi Greena W Purba
novelku..dijanjiin terbit sama penerbit sekitar dua tahun yang lalu..sampai
sekarang tak terbit juga...ihik....nasib penulis amatir...:(

Hudanosch Hudan
di sana. atau kau hanya memerlukan menyeberangi jembatan kecil itu saja, lalu
sebuah jalan raya akan menerimamu. dengan makanan dan minuman malamnya. tapi
lihatlah aku tak kemana mana. hanya duduk di kursi rotanku, dengan alasnya yang
lembut dan kedua sisinya yang keras. lalu sesuatu yang ringan menemuiku: tidur
yang risau. mataku terpejam tapi tidak jiwaku.

otakku bertemu banyak hal dalam mimpi yang kacau. hantu hantu keluar dari
sarangnya dan bangkit satu demi satu menemuiku. hantu putih. hantu hitam. aku
enggan memikirkan mimpi mimpiku itu. kuacuhkan saja. kutolak mereka dengan
halus.

tapi kalau aku sempat jalan jalan dengan seorang kawan, aku pulang membawa bir
yang benar benar akan membuatku tertidur. ringan tanpa mimpi lagi. senang
sekali tidur tanpa mimpi. hanya tidur. lepas dari segala soal dunia.

aku tak pernah memimpikan singa singa seperti hemingway, sebuah pantai pasir
putih. mimpi apa itu? itu bukan mimpiku. mimpiku adalah tidur ringan tanpa
mimpi. biarkan saja singa

Hudanosch Hudan
dan pantainya menjadi milik novelis itu. aku punya mimpi lain. mimpiku paling
memegang megang kelamin sendiri sebelum tidur yang ringan itu datang. cukuplah
itu untukku. aku tak punya lagi keinginan lain. benar benar cukup untukku.
about an hour ago · Delete Iwan Gunawan
he he he.. cerpen yang dahsyat nikh ...

Hudanosch Hudan
ada juga keinginanku yang sukar sekali aku malaksanakannya. yakni bangun pagi
dan berjalan jalan di udara terbuka. kukira segar sekali. lari lari kecil
seperti puluhan tahun silam. sungai depan rumahku, selalu menunggu kehadiranku.
tapi belakangan ini kami seperti sepasang kekasih yang lagi musuhan. aku tak
pernah mau menemuinya lagi.

kudengarkan saja alurnya yang diam dari balik jendela kamarku. kadang kulihat
tubuhnya berjalan pelan pelan, dan kesunyian malam seolah melingkupinya dengan
banyak misteri. misteri sungai yang diam.

berjalanlah kamu di tempatmu. aku pun akan berjalan di tempatku. kita berdua
sama tapi sekaligus berbeda, kataku dalam hatiku. lalu kulepaskan lagi
pandanganku jauh ke tepi sungai itu. tempat di mana ia berhenti dan menikung ke
kiri.

di sinilah imajinasiku dulu bekerja. kubayangkan ada sebuah pemukiman kumuh
tempat seorang penghuninya berdoa. atau menangis kepada tuhannya.

semua imajinasiku tentang sungai itu masih ada.

Hudanosch Hudan
sungai dengan jembatan kecil di atasnya, itu telah membuat novelku. dengan
orang orang fiktif dalam novel. hanya aku dan sungai itu saja yang nyata.
lainnya fiktif. tak nyata. atau jangan jangan aku dan sungai itu pun fiktif,
tak nyata juga. mungkin saja. mengapa tidak? tapi apa sih fiktif dan faktaif
itu? aku tak tahu. kukira kami nyata. buktinya aku bisa menyadari kedua
kehadirannya di otakku.

Hudanosch Hudan
sudah banyak yang berubah. kukira kini aku harus mengerjakan novelku kembali.
mungkin novel itu telah berkali kali memanggilku dari kesunyian tempatnya
berdiri. kudengar panggilannya dalam sayup. tapi aku tak datang. aku lagi malas
datang padanya. tapi kukira kinilah saatnya, aku datang lagi padanya. aku mulai
memerlukan pengucapan lain. dan itu adalah novel.

Hudanosch Hudan
tapi apakah aku masih memerlukan sungai dan jembatan itu? mengapa tidak diriku
saja kujadikan sungai sekaligus jembatan itu? tapi aku telah menjadikan diriku
sungai sekaligus jembatan itu dalam novel. lalu apalagi yang aku butuhkan? ah
mudahlah. aku tak membutuhkan apapun. aku tak mau menempatkan utiliti serperti ini dalam hubungan kami. aku hanya
terpukau saja sama sungai dan jembatan itu. seolah dalam air itu aku melihat
diri tuhanku yang berjalan dan mengendap di depan mataku. menggoadaku agar
diriku datang. akankah aku datang padanya?

kita lihat sajalah. banyak rencana, kelak tak satu pun yang jadi. lebih baik
sret langsung saja menulis. baiklah. kini aku akan menulis.

sret aku pun menulis.

mana? sudah dalam pikiranmu. hanya perlu mengetikkannya saja. besok? tidak.
kini.

sret aku pun menulis.

aku menulis lo.

sret aku pun menulis.

sret aku menulis.

sret.

Hudanosch Hudan
(aku baru saja mau merapikan note ini, mau kukirim ke milis. tapi kukira aku
melihat kawanku heru di atas sana. jadi kurapikan kelak aja. kukira ku agak
dosa dengan heru. ia masuk ke chat tapi aku tak melihatnya. aku telah tertidur.
waktu hendak kujawab heru sudah ofline.

aku melihat kawanku yang lain - iwan gunawan. manusia ini aneh: teramat sangat
bergairah dengan dunia tulisan, dan mampu mewujudkannya ke dalam tulisan yang
bai. beberapa kali aku disentakkannya melalui dunia puisinya.

yuswan adalah kawanku yang lain: penyair yang datang dari dunia pantun, dengan
isi yang kelewat canggih untuk sebuah pantun.

yessy? seolah kulihat dunia remajaku kembali. begitulah hidupku: penuh kawan
kawan yang seolah maya juga - aku tak pernah menjumpai mereka. jangan jangan
hidup ini memang tak ada. alis kita semua memang adalah bagian dari maya dunia.
aneh ya. absurd sekali)

 

Cepi Sabre
kecepatan yang luar biasa ! rata-rata hanya 5 menit per komentar. sungguh.

novelnya saya tunggu sebagai sebuah karya utuh bang hudan.

Hudanosch Hudan
keren ya riku novee

Hudanosch Hudan
iya kuda liar ya cepi sabre hehe tapi aneh mengapa kalau mereka minta biodataku
lama sekali aku mengerjakannya. oh sudah saatnya kita memiliki sekretaris
sendiri ini. kalau malam ehm hehe kita bisa makan angin.

Cepi Sabre
hahaha ... dengan sekretaris, hudan hidayat tidak lagi original. tidak 'fresh
from the oven.' hangatnya roti dari sret-nya hh itu bikin beda bang ...

Sandra Palupi
1. ruang yang berantakan biasanya menunjukkan si pemilik yg kreatif. tempat
berantakan sumber inspirasi...

2. kau jenius dg semua bukumu, banyak waktu untuk membaca. hingga tak ada
waktumu untuk melihat kenyataan.

3. bayangkan saja kau menjadi korban dr teror bom itu. tubuhmu hancur jadi
serpihan, namun segala note-mu menjadi serpihan yang tak pernah hancur dan
abadi.

4. aku suka semangatmu. juga pikiran yg gentayangan tak keruan. gelisah yang
kau punya, menjadi peluru untuk menembaki jiwa2 yang lunglai dan tak
bersemangat.

Hudanosch Hudan
ica juga sih cepi. burung pipit mati terjepit anak belanda mati berlayar. ai ai.

Hudanosch Hudan
mengapa di balik sandra palupi? bukankah satu puisimu itu telah membuatku
gemetar? seperti aku membaca puisi hanna adik dan kakak yang mabuk itu:
gemetar. kukira kedua kakiku masih gemetar hingga hari ini, sandra. apa yang
kau cari, (sandra) palupi?





 


 

 


the FINAL THEORY - JURNAL SASTRA TUHAN HUDAN