HUDAN HIDAYAT TENTANG WAJAH BULAN

13/08/2009 02:30

wajah bulan

 

 

Hudan Hidayat
Thu, 25 Sep 2008 10:33:08 -0700

Wajah Bulan

Cerpen Hudan Hidayat Silakan Simak!

(Dimuat di Jawa Pos Silakan Kunjungi Situsnya! 03/18/2007 Telah Disimak 501
kali)

Aku menatap malam berbintang. Di lintasan langit kulihat wajahnya. Kukejapkan
mataku. Wajah itu tidak juga berubah. Seluas langit di atas sana. Membentuk
tubuh perempuan yang lembut, dengan suara menyejuk jiwa.

Aku memandang bulan purnama. Bulan yang indah. Andai tanganku sampai ke sana,
bulan itu akan kupetik. Kuletakkan hati-hati di meja kamarku. Agar aku puas
memandangnya. Tapi bulan itu pelan-pelan berganti wajah. Bulan yang bulat itu
menjelma wajahnya. Memuai membentuk tubuhnya. Terlihat tangan dan kaki
perempuan itu. Tubuhnya merentang di atas langit. Bajunya masih baju yang
kulihat tadi pagi, saat kami bertemu di sebuah mimpi. Sebuah paduan warna dari
jenis casual. Membalut tubuhnya yang indah. Putih kulitnya kontras dengan
busana hitam. Rambutnya dicat kekuningan. Tebal bergelombang menutup bahunya.
Parfum yang meruap dari tubuhnya membuatku terlena. Seperti aku terlena saat
memandang langit.

Mulutku tak dapat kutahan.
"Adindaku sayang, duh, jauhnya kau di atas sana! Serasa tak mungkin kugapai!"

Pelan-pelan hujan turun. Wajahnya dan wajah bulan tertutup awan. Sebelum
menghilang perempuan itu tersenyum. Tak kan pernah kulupa senyumnya. Itulah
satu-satunya kepastian dari hidupku.

Curah hujan sempurna. Hari telah menjadi dingin. Aku tegakkan mantelku. Bukit
ini menjadi bukit hujan. Lampu dari hotel-hotel di lereng bukit menyerah.
Redupnya mengecil, kalah dengan kabut hujan. Rokokku patah karena hujan.
Kubuang rokokku. Puntung itu lenyap secepat air membawa arus pertamanya.
Menghilang ke dalam hutan. Tembakau itu bersatu dengan tanahnya kembali.
Seperti aku kini: bersatu dengan sepiku lagi.

Hampir tak kudengar suara, kecuali desau angin dan curah hujan. Orang-orang di
lereng bukit menyuruk ke balik selimut. Aku pun ingin menyuruk ke balik
selimut. Tapi entah mengapa kakiku membawa tubuhku turun, masuk ke dalam tembok
hujan. Patahan hujan merenggut diriku. Aku segera kuyup. Kakiku berat karena
tanah yang terbenam dalam sepatu. Kupaksa kakiku berjalan ke hutan itu.

Aku sampai di tengah padang. Di belakangku bungalow tempatku menginap. Di
depanku hutan cemara. Pohon-pohon teh membentang dalam gundukan besar daun teh,
merunduk-runduk diterjang hujan. Sebuah petir dan kilat membelah langit. Seolah
begitu dekat dengan hutan. Kalau petir itu menyambar lebih rendah, pastilah
tubuhku hangus terbakar. Entah mengapa aku tidak khawatir. Seolah aku senang
bila tersambar petir. Sesaat rasa ingin mati merebut diriku. Mungkin aku telah
putus asa. Begitu tak kulihat jalan keluar. Adinda, adakah jalan keluar itu?
Sedang hatiku diliputi dirimu. Ruang hatiku tak ada lagi yang sisa, seperti
hujan tak menyisa ruang. Kalau keinginan ini kandas, mungkin aku lebih baik
mati. Untuk apa hidup kalau hanya meruang sepinya hati. Tapi di mana dirimu
kini?

Sudah tiga bulan ia menghilang. Dan aku takut. Suatu malam ia berkata, "Kini
aku menerimamu. Tapi awas, sekali saja kau berkhianat, hanya ada dua jalan bagi
kita!"

Dan ia menempuh jalan kedua: menghilang.
Aku tidak berkhianat. Semua ini cuma fitnah dan salah sangka. Seorang kawan
dekat membelot dan merancang siasat jitu. Sehingga ia termakan dengan siasat
itu. Tapi aku beruntung juga: ia tak menempuh jalan pertama: kawin dengan
"lelakinya". Berarti aku masih ada harapan, bukan? Tetapi ke mana dirimu. Ke
mana aku harus mencarimu, sayangku?

Lintasan langit tempat wajahmu, penuh kabut hujan. Kapan saja aku bisa terseret
arusnya. Terbenam dalamnya. Seperti di dunia sana aku terbenam dalam air api.
Tak bisa bangkit lagi. Tidurku mendengkur seperti babi. Akankah aku terjun ke
dalam air api itu kembali?

Tidak.
Aku tidak mau ke sana. Aku tidak ingin berkubang dengan nasib burukku lagi.

Kupaksa kakiku mencapai hutan cemara. Aku sampai di depan hutan. Ada apa di
balik hutan? Meski tubuhku membeku, aku masih bisa merasakan hatiku, yang
memintaku masuk ke dalam hutan itu. Ada apa di balik hutan itu? Mengapa aku
berkeras menembus hujan masuk ke dalam hutan itu?

Seolah hutan itu adalah jawaban. Seolah tubuh hutan yang dilingkupi air itu
membentuk nasibku. Nasib hutan. Kayu-kayu dan rantingnya penuh air. Terbenam
dalam air. Seperti saat pertama di lintasan langit, aku kembali melihat dirinya
dalam hutan itu. Kayu-kayu hutan itu mengumpul, membentuk tubuhnya.
Ranting-ranting hutan itu mengumpul, membentuk kaki dan tangannya. Jadi untuk
itulah aku harus menempuh badai hujan ini? Ia telah sempurna menjadi hutan itu. Kini kekasihku membentangkan tangannya.
Meminta aku datang.
Aku datang sayang, tunggulah di sana. Aku datang dengan kesucian jiwaku, saat
pertama kali kau mengenalku. Aku masih melihat daun-daun yang berubah, saat
busananya yang casual lepas dari tubuhnya. Kini ia berbusana hijau. Hijau dari
daun-daun yang mengumpul. Indahnya tubuhmu dengan pakaian itu. Mari kugapai
tubuhmu. Aku ingin memasukkan tubuh dan jiwamu, ke dalam tubuh dan jiwaku.

Sebuah petir menyambar melalui kepalaku. Dekat sekali. Hampir saja, bisikku.
Petir itu nyaris merenggutku. Aku kemudian berlari ke dalam hutan. Sepatuku
tertinggal di tengah padang. Seolah sepatu serdadu terpacak di medan perang.
Sedang tubuh serdadu sudah menjadi mayat di parit sana. Aha! di lehernya
tertulis puisi: datanglah mati. jemput aku di ujung sana. Siapa yang
menuliskannya? Mungkinkah serdadu ini menulisnya sendiri. Kapan? Saat sebelum
dia meninggal? Aku membungkuk mengamati tulisan berwarna merah itu. Ternyata
bercak darah. Jadi serdadu ini sebelum mati, menulis nasibnya sendiri. Dan
kematian itu datang padanya. Aku membungkuk lagi. Tubuh serdadu menghilang,
berganti dengan tubuh sepatu. Sepatuku, kamu bukan serdadu itu. Kamu adalah
sepatuku. Sini masuklah ke kakiku. Itulah tubuhmu sebenarnya: sepasang kakiku.
Bukan lumpur campur air ini. Tetapi sepatuku tetap di sana. Seolah enggan
dengan tubuhnya lagi. Rupanya ia ingin sendirian di atas
padang itu. Seperti serdadu itu. Sendirian dengan nasibnya.

Hujan turun dalam hutan cemara. Airnya dihempaskan angin. Membentur daun-duan
dan ranting. Jatuh juga menimpa tubuhku. Aku berjalan ke pohon cemara, yang
menyuruk ke balik hutan. Pohon cemara itu menungguku. Diam di tempatnya. Aku
menatapnya. Pandanganku kabur karena hujan. Tetapi kusaksikan cemara itu
mengubah dirinya, dari sebatang pohon menjadi tubuh perempuanku. Jadi di
sanalah kamu. Menjadi pohon cemara itu. Tubuhmu menjadi batang itu. Rambutmu
menjadi daun-daun itu. Kedua kakimu yang indah terpacak ke dalam tanah. Aku
mendekati perempuanku. Kupeluk dia dengan sayang. Lihat, hatiku untuk dirimu,
Adindaku. Begini pun tak apa, kataku meraih pinggangnya. Perempuan itu
tersenyum. Di bawah hujan tubuhnya hangat. Aku pun memeluknya lebih erat lagi.
***

hudan hidayat







 

 


the FINAL THEORY - JURNAL SASTRA TUHAN HUDAN