MANIPULASI TEORI DALAM FIKSI

05/08/2009 06:11



Kebutuhan sastra akan struktur, yang meletakkan diri pada grama dalam bahasa, seolah padanan anggota tubuh yang rindu akan rohnya, yang memancar dengan tenaga mekanik, dalam fungsi tiap serat anggota tubuh. Atau, bisa dibalik: roh yang hendak bereksistensi, meruang dalam tubuh.

Badan bahasa, yang disebut Saussure sebagai penanda, itulah anggota tubuh dalam badan manusia. Sedang ruh manusia adalah makna yang terpancar oleh badan bahasa, ke dalam dunia yang ditandai.

kalau tardji bertanya sejak kapan sungai dipanggil sungai, maka saussure tak tak tahu dari mana dan siapa yang menyebut sungai itu. maka kini bolehlah kita bertanya: siapa manusia pertama itu dan bagaimana dia bisa mendapatkan sebutan sungai.

Dalam struktur ini, kita menarik kehadiran sastra ke dalam pelbagai konsep sastra, atau konsep bahasa. Menarik sastra juga ke dalam konsep yang datang dari dunia lain: filsafat. Juga ilmu. Ke dalam kerja intertekstualitas.

Struktur sebuah karya sastra, bukanlah sifat dan unsur yang bergerak mutlak dalam dirinya. Ia akan berguncang ketika disentuh oleh dunia lain – dunia pembaca. Resepsi dan interpretasi, adalah hal yang niscaya yang membuat genre sebuah karya sastra berguncang dan saling menyeberang, saling menidakkan. Struktur tiba-tiba menjadi tak utuh lagi. Ketarik dan ditarik oleh pembacanya sendiri, dalam ramainya dunia pemaknaan pembaca. Tapi oleh pengarangnya juga.

Kritikus sastra Katrin Bandel, menunjukkan struktur sebuah karya yang terguncang dan menyeberang itu. Dalam kajiannya terhadap novel supernova, ia meletakkan fenomena struktur yang terguncang itu, dengan penyebutan “Karya sastra sebagai taman bermain”.



“Apa yang akan terjadi seandainya tokoh sebuah novel tiba-tiba melepaskan diri dan meloncat keluar dari karya sastra itu, lalu berkeliaran dengan bebas, tanpa bisa dikontrol lagi oleh pengarang yang menciptakannya?”
Itulah pengelihatan Katrin saat ia menemukan novel Supernova yang diletakkan ke dalam wadah lain – wadah respon pembaca novel Supernova di dunia maya, di mana pembaca menjadi partisipan bebas untuk memaknai dunia novel Supernova.

Kita bisa menyebut respon pembaca sebagai aspek demokratisasi sastra oleh sang pembaca novel. Bahwa novel kini bukanlah milik sang pengarang lagi, tapi sudah menjadi bagian dunia publik yang ramai, yang hendak menarik novel ke dalam situasi domestiknya sendiri. Atau dalam kalimat Katrin, “… rangkaian tulisan di bawah judul Thanks From Me (wadah novel supernova dalam dunia maya itu – hh) merupakan semacam tanggapan pembaca atas novel Supernova. Pembaca bereaksi bukan dengan memberi komentar, seperti yang biasanya dilakukan kritikus atau orang awam setelah membaca sebuah karya sastra.”

Apa yang menarik dalam esai Katrin yang sangat jernih dan penuh kontrol ini, adalah saat ia mengambil Sartre dalam soal aktivitas membaca, bahwa membaca adalah sebuah kegiatan untuk menciptakan kembali.

“Agaknya pandangan Sartre”, tulis Katrin, “bahwa ‘membaca adalah menciptakan yang terarah’ terbukti benar pada mereka, hanya saja apa yang sudah diciptakan dalam benak mereka itu tidak rela mereka tinggalkan pada waktu menutup halaman terakhir, melainkan mereka jadikan titik tolak untuk terus mencipta, dengan mengambil alih cerita dan tokoh-tokoh Supernova.”

“Mengambil alih tokoh-tokoh Supernova”, itulah saat di mana struktur dalam sebuah karya sastra (novel) itu berguncang dan menyeberang, tak lagi menjadi struktur dalam dirinya sendiri. Bermakna dalam dirinya sendiri – dalam makna yang tunggal.

Guncangan seperti ini, sebenarnya terjadi tidak hanya di dalam ranah struktur sebuah karya. Tetapi di ranah pembaca juga sebagai manusia yang menghadapi bacaan. Menghadapi bacaan, sang pembaca pada dasarnya membentuk struktur kognitif yang disadari, menjadi sebuah konsep bagaimana cara dia memandang dunia. Atau tenggelam dan terbenam menjadi sebuah gerak dan gerik dalam diri, psiko dalam term freud. Kelak tiba masanya di mana struktur yang berproses mencari bentuk itu, atau yang “tenggelam”, meledak ke luar sebagai respon manusia atas dunia yang tengah dihadapinya.

Proses seperti itulah yang diceritakan Sartre, dalam renungan metaforik di perpustakaan kakeknya saat ia masih kanak, dalam bukunya yang konon telah mengantarkannya mendapat hadiah nobel yang ditolaknya itu – Kata-Kata.

“Perpustakaan laksana dunia yang terjerat dalam cermin; tebalnya tak terhingga, beraneka, juga tak terduga. Aku terjun dalam petualangan yang luar biasa: menaiki kursi, meja, meski dengan resiko membuat semua roboh jatuh di atasku. Buku-buku di rak paling atas lama di luar jangkauanku. Ada buku lain, baru kutemukan, yang dengan mudah dapat kuambil; tetapi ada juga yang bersembunyi: yang ini pernah kuambil, bahkan mulai kubaca, dan aku yakin sudah kukembalikan, tetapi nyatanya aku perlu waktu seminggu untuk menemukannya kembali. Ada penemuan-penemuan mengerikan: kubuka buku tebal, tahu-tahu halaman berwarnanya kudapati penuh dikerubuti serangga-serangga memualkan. Berbaring di permadani, kulakukan perjalanan-perjalan an yang berat ke tengah karya-karya Fontenelle, Aristophanus, dan Rebelais: kalimat-kalimat berkutat di hadapanku seperti benda-benda hidup; mereka harus kuamati; aku mengelilinginya, pura-pura kujauhi dan tiba-tiba kembali agar bisa
mengagetkan mereka di saat lengah: pada umumnya kalimat-kalimat itu tidak membuka rahasia dirinya.”

“Aku mengelilinginya, pura-pura kujauhi dan tiba-tiba kembali agar bisa mengagetkan mereka di saat lengah”, adalah pelukisan guncangan terhadap bacaan, yang ditemukan Katrin terhadap realitas pembaca novel Supernova, yang kini menjadikan novel Supernova sebagai milik bersama.

Saya baru menyadari pendapat Katrin ini, ketika memikirkan esai-esai saya sendiri, semacam ideologi dalam mencipta, yang dituang ke dalam bentuk novel, bahwa dunia novel adalah sebuah dunia di mana kebutuhan mengacak-ngacak dan membentuk kembali struktur, adalah proses yang berjalan bolak-balik dalam dunia penciptaan. Penciptaan bukanlah sebuah kawasan yang bisa dan harus dijumudkan, tapi adalah dunia terbuka dimana, seperti kata-kata Sartre, “kalimat-kalimat” yang “tak membuka rahasia dirinya” justru harus diminta terbuka, dikuak untuk dijelajahi. Seakan tangan pengarang memegang serenteng kunci, untuk masuk ke dalam kamar rahasia dari kalimat-kalimat serupa itu. Kini pengarang bebas dalam dirinya sendiri, bebas pula dalam dunia. Tapi kebebasan mutlak sang pengarang, adalah kebebasan mutlak pula bagi sang pembaca sebuah karangan.

Ilmu memang hendak membuat klasifikasi, menentukan sifat-sifat umum dan sifat-sifat khusus, tapi pengarang dan pembaca “bisa terbebas” dari tuntutan ilmu. Ilmu bisa dijadikan panduan, pegangan, atau semacam tongkat untuk bertopang.

Selanjutnya dalam pengembaraan memasuki lorong-lorong bahasa sebagai jalan memasuki lorong-lorong jiwa manusia, maka sebuah patokan yang hendak ditancapkan, menjadikan seorang pengarang atau pembaca tergagap. Ia serupa kuda yang laju berpacu, tapi tali kekang memperlambat laju sang kuda. Tapi kemanakah kuda hendak berlari kalau horizon terjauh tanpa peta?

Maka nampak kita ditarik ke dalam dunia ilmu kembali. Seolah ilmu adalah tali kekang, menjadi suar ke mana sang pengarang dan pembaca hendak berlabuh, atau mendekat atau menjauh. Tapi bisa juga sebaliknya: ilmu ditarik oleh jiwa pengarang yang tak hendak diblog oleh ilmu.

Dalam dunia tarik menarik semacam itu, dunia di mana kebutuhan membentuk struktur sama besarnya dengan kehendak untuk menghancurkan struktur, maka cerita, atau bahasa, menjadi kawasan penuh kemungkinan, dan nyaris tak ada patokan untuk membentuk sebuah bahasa atau sebuah cerita. Termasuk juga untuk mengintodusir teori dalam sastra, atau membelokkannya.

Konvensi, terbuka untuk sebuah pelanggaran bahasa, dengan atau tanpa kesadaran. Seperti yang diparafrasakan oleh sebuah novel: bahasa juga berhak mendapatkan kesalahannya. Seperti anting dan tato di tubuhmu.
Semacam impuls yang berdenyut dari dalam jiwa sang pengarang – dari jiwa sang pembaca juga, kini mengintip di tiap tubuh si aku-lirik atau si aku-prosaik. Mengintip juga pada pencipta kritik. Maka eksplosifisisme, kini bukan hanya sebuah dugaan tapi telah dan bisa menjadi sebuah program.

Hidup memang seolah menggenggam air dalam tangan. Dan air selalu merucut ke balik tangan. Begitulah struktur dan antistruktur itu bekerja dalam jiwa sang pengarang dan sang pembaca. Untuk kemudian meletus dalam ledakan kreatif. Ada tali hendak mengekang lajunya ledakan, tapi putus oleh desakan dalam diri yang tak terbendung lagi. Kehendak untuk memblog bahasa, terkulai oleh kehendak bebas jiwa yang ingin mengembara.

Seperti yang saya lihat dalam puisi penyair Maulana Achmad (dan pastilah penyair lain juga), yang memainkan tarikan-tarikan semacam itu dalam puisinya berjudul “Ketika Nanti”. Tarikan dari sebuah kegetiran, tapi tak terucapkan, dan tak terkatakan – kegetiran apakah itu? Darimana datangnya dan kemana ia hendak menuju? Tapi dalam puisi yang bernas ini, tarikan-tarikan itu bukanlah menampakkan kebutuhan mengacak struktur bahasa, tapi sebuah fenomena dari batin dari aku yang terbelah – batin yang menerima tapi hendak menjauh, menolaknya, menjadikan dirinya sebagai bayangan.

Ketika nanti,
Aku dan dedaunan sulit diurai
Sebaiknya kau keduk sesudu kami
Hiduplah! sebatas mampumu saja
: bila baik langkahmu, aku kan membentuk bayang

Dunia puisi yang menalikan manusia ke dalam dunia benda, ke dalam sebuah majas tentang kesedihan, dalam puisi Maulana “pakcik” Achmad ini, akhirnya sampai juga ke dalam pengacakan struktur “jiwa” benda yang menyatukannya ke dalam jiwa manusia. Itulah saat di mana sang penyair menyebut pengacakan itu sebagai “aku dan dedauan sulit diurai”, di mana daun sebagai benda mati, kini di tangan penyair, menjadi hidup seolah hatinya sendiri. Penyair “merusak” fungsi struktur daun – benda mati itu. Konon, Newton cemas, bahwa Tuhan menambah satu kemampuan lagi terhadap dunia benda, yakni pikiran, sehingga dunia fisika tidak bisa menjadi mekanika utuh.

Dalam puisi Maulana itu, benda belum, atau tidak, berbicara berkonsonan, atau bervokal, tapi seolah berjiwa, dan jiwa itulah yang dihimpitkan oleh pakcik ke dalam motif asosiatif. Maka makna tak hanya datang dari relasi sintaktik dan semantik dalam puisi, apalagi dari permainan bunyi-bunyi, tapi keluar dari imajinasi penyair yang menali dirinya ke dalam dunia benda.

“Biarkan surai kisah kami menampar wajahmu.
Mungkin angin kelak kan ceritakan sedikit
: pernahkah aku, daun dan angin hidup

Daun, angin, tebing, sampai juga kepada kita menari-narikan kesedihannya, seolah manusia yang bersedih hati yang mengucapkan kesedihannya ke dalam dunia kata-kata – dunia puisi.

Puisi tak hendak masuk ke dalam dirinya sendiri. Ia meningkap di dahan peristiwa, di luar bahasa, sebelum bahasa. Menjadi gerak dan gerik dalam peristiwa. Dalam momen, momentum peristiwa menguar, membentuk bahasa ucapan seorang penyair. Entahlah fiksi entahlah fakta, momen ulang tahun sang istri dihadiahi oleh penyair dengan dunia kata. Kata, sebagai puncak piramida waktu, kini berkumpul dalam peristiwa ulang tahun istri sang penyair Hasan Aspahani.

Kukumpulkan daun daun kamboja itu…

Maka tampak sang penyair mengaduk harapan dan kematian: bukankah kamboja, lambang yang kita kenal sebagai bunga kuburan. Paradoks seperti ini, adalah jejak yang diucapkan oleh sang penyair, dari perjalanan fakta yang akhirnya menemukan dirinya ke dalam dunia fiksi – dunia puisi.

Kematian dalam wajahnya yang inheren dalam asosiasi puisi: matahari, daun yang luruh, jam memberat, senja yang tiba, muncul dalam puisi goenawan Mohamad yang sarat dengan pasti dan ragu (hari terakhir seorang penyair, suatu siang). Seolah pasti dan ragu, hendak menjadi permainan penundaan makna dalam semangat Derrida – mati (siapa yang mati?), atau dalam bahasa lain: kematian itu sebagai momen puitik dari kematian yang hendak “ditunda-tunda” oleh si aku-lirik.

Goenawan memasangnya dalam situasi bahasa yang berlirik prosa. Tapi apakah batasnya lagi dunia prosa dan dunia puisi, di tengah perjalanan bolak-balik yang amat cepat tiap peristiwa, atau tiap peristiwa dalam pikiran manusia, yang intensitas tiap unsur-unsurnya telah mencapai puncak kedalaman dan pengasingan, di mana pengimajian dalam puisi, yang dengannya si aku-lirik dalam puisi menyembunyikan dirinya ke dalam lirik dan bait-bait puisi, berpadanan dengan totalitas hidup yang terus berdenyut dalam ruang-ruang absurd. Sebagai lirik dan bait raksasa dalam ruang dunia di labirin lautan benda dan makna di kota-kota, atau lautan benda dan makna di dalamnya lautan, dan ruang juga di dalam kumparan laku manusia dalam dunia.
Kalau intensitas sebagai suatu proses penulisan puisi diperluas cakupannya, ditransendir ke fenomena kehidupan dalam totalitasnya serupa itu, maka cukup alasan untuk mengatakan bahwa kehidupan ini sendiri adalah puisi, yang kerap ditulis ke dalam bahasa prosa. (Ini sebuah puisi, gumam seorang lelaki tua membuka novel putu wijaya: stasiun). Tapi ditulis juga ke dalam bahasa puisi itu sendiri.

Sampai di sini, intensitas sebagai cara menuliskan puisi, bisa dibaca sebagai puisi yang sedang melonggarkan dirinya ke dalam permainan yang memberikan ruang, bagi pembaca puisi untuk berfantasi. Fantasi yang mengintensifkan tiap larik dalam puisi, tapi sekaligus melambatkannya, agar ruang dalam diri pembaca tercipta. Dan itu terjadi saat si aku lirik dalam puisi goenawan menggumamkan nama benda-benda, yang membuat kita membayangkan sebuah lanskap. Menghitungnya seolah manusia menyebut-nyebut kematiannya, menunda-nunda waktu kematiannya.

Kuhitung pohon satu-satu. Ada matahari yang lewat mengendap, dan bumi yang jadi lain: daun pun luruh, lebih bisu

Permainan puisi dalam prosa atau prosa sebagai puisi ini, seperti kelak kita lihat dalam novel-novel mutakhir Indonesia, telah berselang-seling, mengambil pelanginya sendiri dalam lirik yang hadir bergaya prosa. Tapi puisi “hari terakhir seorang penyair, suatu siang”, nampak bagi saya bukanlah sekedar puisi yang menjelma prosa dan prosa yang menjelma puisi dalam tenik, juga dalam ciri. Tapi puisi yang berbicara tentang hidup yang merentang maut: maut hendak ditolak dalam keraguannya, atau ketakutannya. Seolah sang penyair hendak menawar maut yang pasti datang itu, dengan melambatkannya melalui kenangan akan benda-benda. Maka intensitas berfungsi bukan sekedar penguat makna puisi, tapi mencipta dan memandu ke dalam ruang-ruang yang lain.

Dalam pengimajian, puisi tak hanya menunjuk pada maut yang menjadi temanya, tapi juga pada pengenalan benda-benda yang muncul – gejala alam yang membawakan suasana kematian. Puisi membawakan kepada kita suasana yang “kelak hendak hilang” (dan hari menunggu/Segala akan lengkap, segala akan lengkap, Tuhanku). Dan pengenalan benda di sana bukan merujuk kepada sesuatu yang terlihat untuk dipelajari, tapi sebagai suasana untuk mendekat kepada tema puisi. Sang penyair memakainya sebagai sarana, sebagai kanal, bagi perasaan yang merambat pada dirinya. Ia mengalirkan perasaannya pada dunia benda. Seni memiliki daya tular, kata Tolstoi, dan daya tular itu nampak, bukan hanya dari alam kepada manusia sebagai inti pikiran mimesis.
Puisi (itu) masih taat pada tipologi, tapi majas di sana dihadirkan ke dalam unsur alur seperti dalam teks naratif, dan alur, bukanlah alur yang berumpu pada peristiwa dan jalinan peristiwa seperti dalam dunia prosa, dan puisi, bukanlah karya seni tanpa beralur, tapi alurnya puisi adalah balok-balok benda yang ditautkan, dalam kesan seorang penyair, yang hadir sebagai bahasa alam matahari, pohon, daun, sebagai asosiasi bagi sebuah kematian yang akan tiba itu. Sebagai benda-benda yang disebut dalam puisi.

Di sana, alur menyembunyikan dirinya ke balik gejala. Di mana ruang dan waktu, berjejak dalam masa silam sang penyair dan sang pembaca puisi.
Di sana makna dibentuk oleh unsur-unsur mataporik (aku yang merenungi daun yang luruh) sekaligus metonimik (hadirnya matahari lewat mengendap, jam memberat, dan hari menunggu, dalam relasi dengan aku-lirik yang menjemput mati).

Alur yang hadir dalam larik yang menautkan diri dalam benda alam, menciptakan asosiasi tentang mati. Ada rima di sana, tapi rima diseling oleh penyair ke dalam asosiasi benda alam yang lain. Di mana konsonan dan vokal hadir bersama benda alam, mengesankan mati yang menunggu, seperti kematian dalam hidup ini sendiri pun adalah menunggu. Dengan begitu mati menjadi kehadiran yang datang selapis-selapis, seperti lapisan-lapisan roh yang ketarik, keluar dari tubuhnya selapit-selapit.

Di siang suram bertiup angin. Kuhitung pohon satu-satu
Tak ada bumi yang jadi lain: daun pun luruh, lebih bisu
Ada matahari lewat mengendap, jam memberat
Dan hari menunggu

Segala akan lengkap, segala akan lengkap, Tuhanku

Kemudian Engkau pun tiba, menjemput sajak yang tak tersua

Kemudian hari pun rembang dan tanpa cuaca
Siang akan jadi dingin, Tuhan, dan angin telah sedia
Biarkan aku hibuk dan cinta berangkat dalam rahasia

Larik-larik maju, membentuk dua bait dalam puisi, tapi tak bercerita tentang tubuh yang telentang dan mati, tapi menggesernya ke dalam sentuhan sang aku lirik terhadap fenomena benda. Benda yang dalam puisi menjadi pembentuk tema puisi. Maka puisi diselipi sepi, atau sepi merangkak ke celah puisi. Tapi awal puisi dan isi larik dalam bait-bait, membuat kita tersadar: ada efonik yang menyanyikan lagu akhir seorang penyair.

(hudan hidayat)

 

 

 

Topic: MANIPULASI TEORI DALAM FIKSI

No comments found.

New comment


the FINAL THEORY - JURNAL SASTRA TUHAN HUDAN