sebuah KRITIK SASTRA - MEMPERKUKUH SAINS SASTRA

05/08/2009 21:36

 


Seperti ketika seseorang mencari alamat tempat tinggal seseorang yang lain
dengan jalan berputar-putar, sains fisik pun akhirnya harus berhadapan dengan
ukuran benda-benda: ia mengoperasikan aritmatika untuk menghitung panjang dan
lebarnya alam. Atau, geometri untuk memahami ruang-ruang. Ia membuat hipotesa
tentang massa dan energi dalam sebuah benda, dan atau relasi benda-benda. Ilmuwan
bertekun di dalam laboratorium. Rumit, tetapi bukan hal yang mustahil.
Einsteins, konon, hanya mengandalkan nalar deduktifnya untuk menatap
relasi-relasi alam semesta, bukan menyandarkan diri pada teropong bintang.

Sains menghadapi sifat-sifat atom, dan itu berarti ia harus mengerti
partikel-partikel subatom. Ditelisiknya partikel subatom yang bernama elektron
atau proton. Dilakukannya langkah-langkah dalam proses ilmu: observasi,
hipotesa, eksperimen, teori - apalagi? Semuanya harus terukur secara pasti,
dalam evaluasi yang berulang, sehingga mendapatkan kepastian yang sahih dan
tetap.

Itulah metode ilmiah dalam ilmu yang, konon lagi, ilmiah: proses berpikir
yang ingin menjangkau rahasia-rahasia fenomena alam menjadi sebuah kebenaran,
menjadi sebuah kepastian dalam bentuk hukum, alam fisik, atau alam kehidupan
mahluk.

Benda-benda seolah struktur dalam mulut bagi bahasa: menyediakan kemungkinan
dirinya untuk dilalui nalar manusia - sifat dan unsur dunia tanda dalam ilmu
budaya, sifat dan unsur dunia benda dalam ilmu eksakta.

Sifat dan unsur benda mungkin sudah kita pahami, termasuk manfaat dari kemungkinan penggabungannya. Seolah kita sudah menggenggam kenyataan. Seolah
kita sudah mengerti arti sebuah batu. Bahwa batu yang bercampur adalah kumparan-kumparan subatom bernama molekul, bahwa sifatnya adalah dan sebagainya.
Atau sebuah kursi yang kita duduki menimbulkan panas dari tubuh kita sendiri,
yang menjalar ke molekul di kursi. Penjalaran panas yang bisa dihitung dengan
pasti.

Tetapi kalau kita munculkan pertanyaan lanjutan: untuk apakah batu itu? Untuk
membangun rumah. Untuk apakah rumah itu? Untuk kita berdiam dengan keluarga.
Untuk apakah keluarga itu? Cabang jawaban menyediakan diri untuk tiap
kemungkinan. Tapi satu hal yang mungkin menalikannya: untuk agar hidup kita
lebih bermakna. (tapi afrizal menggoda isbedy: isbedy, sudahkah kau akan
membubarkan keluargamu? Isebdy tersentak, dan tergopoh-gopoh menjawab, tidak
afrizal, aku tidak punya niat membubarkan keluargaku).

Mulailah sains fisika menghadapi dilema: bagaimana mengukur panjang dan dalamnya
makna? Bagaimana menghitung dengan presisi tinggi tentang panjang sebuah
kebahagiaan, atau dalamnya sebuah penderitaan, misalnya panjang dan dalamnya
penderitan tokoh novel dalam novel max havelaar, atau menghitung kegamangan aku
prosaik kohar Ibrahim, yang terombang-ambing dalam ruang dan rentang mati dan
hidup, dalam cerita terowongan mautnya? Tetapi dunia makna, tidakkah tidak masuk
dalam objek sains fisika? Tapi justru itulah: sains fisika hanya berurusan
dengan dunia materi yang diam. Tak berpaut dengan dunia manusia, di mana sebuah
gerak hati tak hendak tinggal dalam dirinya sendiri. Hati yang menggeliat,
menjangkau dan menembus merenungkan dunia. "tidakkah kau tahu?/tetestetes
puisi yang bening itu/turun dari awan yang hitam? Itulah sebuah larik Epri
Tsaqib, yang ingin mendikotomik tarikan-tarikan hati, dengan ungkapan ke dalam
dunia lambang - puisi.

Manusia mungkin lelah mengembara dan ingin bersandar dalam rahim bumi. "Dada
bumi memelukmu hangat/seperti tangan ibu yang kini jauh", bisik larik Inez
dikara. Tapi di dunia sana orang menyembelih alam. konon, persetujuannya
diberikan atas otorisasi ilmiah Descartes, yang menganggap bumi tak lebih dari
mesin. Descartes yang seolah mendapat wangsit ilmu, yang ilmunya hendak
menjangkau kepastian akan dunia, tapi meledak dalam mungkinnya punahnya alam
oleh sains yang timbul kendian.

Sedangkan sebuah batu tetap tinggal dalam tempatnya. Batu bisa diangkut dan
diaduk bersama semen dan pasir. Tapi kedua unsur yang membalut batu menjadi
rumah, tetaplah seonggok benda diam dalam dirinya. Tetapi analisa atom dalam
fisika kuantum, mengatakan bahwa benda yang diam itu adalah tempat di mana
sub-subatom berloncatan kesana kemari. Menari-narikan dirinya secara tak tentu
arah, seolah bahasa membentukkan dirinya dalam cerita, mengacak-ngacak kehidupan
untuk membentuknya kembali dalam bentukan-bentukan baru, yang ditali oleh
lambang-lambang aksara dan angka.

Di milis ini sony de bono mengutip sartre, bercerita tentang kisah eksistensi
sebuah benda yang diam, yang berkebalikan dengan benda mesin tapi bisa berpikir:
manusia. Tetapi diam dan berkesadaran ini, tidakkah hanya soal bahasa? Di mana
mungkin, kita manusia tidak mengerti atau mungkin belum menemukan bahasanya
benda-benda diam, dalam berkomunikasi dengan benda-benda yang lain (atau
berkomunikasi dengan kita).

Tersebut dalam sebuah ayat di kitab suci, bahwa matahari dan bumi berkata
setelah diintimidasi oleh khaliknya: kalian mau datang suka rela atau terpaksa?
Kami akan datang suka rela ya tuhan kami. Mungkin ini metapor. Tetapi apalagi
yang berharga di dunia selain metapor? Kerja fisika yang serba menginginkan
kepastian itu, bagi saya adalah metapor: kehendak untuk mengucapkan kenyataan
alam dalam bahasa lain - bahasa ilmu pengetahuan.

Maka sangat mungkin, kelak tiba saatnya metode ilmiah bisa menjangkau fenomena
yang tak bisa dibuktikan, atau tak bisa diangkut, ke dalam dunia empirik.
Seperti hipotesa tuhan terbukti benar: wahai manusia, turunlah kalian ke dunia.
Tapi ingat: kelak kalian akan berbunuhan satu sama lain.

Kalau ilmu adalah pengujian hipotesa, sekumpulan pernyataan yang dibangun
oleh landasan sebuah dugaan, atau pada pertamanya berkembang ilmu belum ada
teori satupun yang bisa menjadi alat ukur akan tiap sesuatu, teori hanyalah
meruapkan sekumpulan dugaan yang dibentangkan dalam ke tiap pernyataan mengenai
sesuatu. Maka pernyataan tuhan itu, bisalah kita anggap sebuah hipotesa.
Hipotesa yang tingkat kebenaran dan keterbuktiannya sudah kita alami, tentang
dan dalam, dunia kemanusiaan: kutub paradoks yang menjadi landasan kita kini
tumbuh dan hidup.

Di suatu waktu muncul bunda Theresa atau Gandhi, atau muncul Buddha si darta
gautama, di lain waktu muncul mao ze dong atau hitler. Di suatu waktu muncul
musa dan pada saat yang sama dan di tempat yang sama, muncul pembangkang yang
nyaris abadi: firaun. Begitulah keagungan dan kebusukan bermain, seolah dua
sifat yang dimasukkan ke dalam satu gelas yang sama - gelas dunia.

Begitulah pengelihatan tuhan: visinya sebagai maha saintis yang sudah melihat
sebegitu jauh tiap sesuatu. Tuhan sebagai maha ilmuwan, tak perlu membuktikan
teorinya sendiri. Manusia dan dunialah yang menjadi penguat dan pembenar
teorinya. Kenyataan ini nampak terdengar aneh, tapi tiap pelacakan, dari manapun
bertolaknya, tak menyisakan ruang bagi ketidakbereksistensinya tuhan. Tiap
pelacakan akan tertumbuk oleh sifat dan hakekat ilmu itu sendiri: kausalitas
tiap benda dan gejala makna. Karen amstrong membentangkan bab-bab akhirnya dalam
buku mencari tuhan, dengan subbab kemungkinan menghilangnya ekstistensi tuhan
dalam dunia yang seolah sedemikian maju ini. dalam frasanya dia berkata:
kalaupun tuhan belum menghilang, mungkin tugas kita untuk menghilangkannya. tapi
ilmu evolusi dihadang dengan sebab mula tiap kehidupan, yang terbukti sel-sel
yang hidup tak pernah bisa muncul dari benda-benda yang mati.

Maka tiap ilmuwan besar atau pemikir besar, seolah melihat sebuah sistem yang
amat halus, pada taraf mencengangkannya dunia dan manusia, yang tak terpermanai
ini. lamat-lamat mereka mengakui, bahwa tidak mungkin semuanya ini ada dengan
sendirinya secara kebetulan. Pastilah ada yang mengadakannya. Tapi marilah kita
menumbuhkan sikap demokratis, terhadap sikap dan pilihan bahasa, saat hendak dan
menyebut apa pengada itu. Toh dia sendiri tak hirau pada tiap sebutan. Karena
dirinya, bukankah mengatasi tiap penyebutan? Ke manapun kamu memandang, di situ
juga wajahku. Kamu bilang berhala yang kusembah. Tak mengapalah, karena akulah
yang mencipta berhala itu. Kamu bertuhan pada pikiranmu, go ahead, karena akulah
pencipta pikiranmu itu. Maka sebenarnya, bagi mereka yang sudah mengatasi
penamaan, dia sudah berada pada tingkat menerima, melihat kemenggeliatannya tiap
kehendak dalam diri, saat mewujudkan eksistensi, berhadapan dengan manusia dan
hidup ini.

Kehendak sastra untuk menyebut diri sebagai sains - sains sastra - haruslah
melalui jejak yang sudah dilalui ilmu pengetahuan alam itu. Ilmu yang
diembriokan oleh mereka yang menyediakan diri untuk merenung: filsafat. adalah
niscaya kita membutuhkan filsafat ilmu (sastra) untuk menumbuhkan sains sastra,
agar kedudukannya tidak mudah goyah, terutama kedudukannya dalam pencarian
ukuran-ukuran yang hendak menuniversalkan dirinya, menjangkaukan dirinya ke
dalam tiap gejala di belahan bumi manapun. Sebab pangkat inilah yang akan
mengangkat dirinya ke dalam setingkatan sains fisika.

Diperlihatkan perbedaan sains fisik dan sains budaya. Bahwa sains fisik mengebor
benda yang diam, sedang sains budaya bertatapan dengan dunia lambang yang sudah
dilekatkan. Dari sebuah proses pikiran dan perasaan manusia yang bertemu dengan
dunia. Bila batu adalah benda yang diam, maka hasil karya seni adalah benda yang
diam dalam permukaan, tapi bergerak di kedalaman. Ia seolah menyimpan bom makna.
Yang sumbu-sumbunya seolah utasan-utasan benang di dalam tiap unsur karya.

Datanglahlah seorang ilmuwan budaya hendak menafsir dunia yang disembunyikan
oleh karya seni. Tapi karena yang menafsir adalah manusia, sedang yang dihadapi
adalah benda yang hidup, maka bertemulah manusia dengan segala ideologi di
belakangnya, dengan benda yang hidup itu. Merentang-rentanglah dunia yang
mengangankan diri untuk ilmiah itu ke dalam sejarah pemikiran. Merentang sebagai
dengan wajah-wajah yang banyak, yang sesungguhnya wajah wajah itu kalau kita
perhatikan hanyalah pada soal focus dan penekanan. Begitulah wajah itu merentang
dari rusia, ke amerika dan ke eropa, sebagai kehendak untuk mendekati karya
seni. Merentang pula ke negeri kita sendiri.

Kalau sains dalam fisika bisa menjadi dingin, dan ini pun ternyata tak sebegitu
dingin saat betapa pakar pakar kuantum itu dihentakkan oleh perasaan mereka
sendiri, tak bisa lagi menembus fenomena atom dalam fisika kuantum. Maka pakar
sains budaya ini tak bisa berlaku seolah pakar fisika masuk ke dalam
laboratoium. Sebabnya sederhana: karena dirinya adalah manusia dan yang akan
ditelitinya adalah hasil karya manusia.

Seperti anggapan umum tentang kerja kritik, bahwa sang pengamat tidak boleh
membelokkan, atau terjerembab, ke dalam perasaannya sendiri saat mengurai sebuah
puisi. Tapi pendamlah perasaan di hati dan tataplah puisi dengan konsep
sintaktis dan semantik dalam kerja close reading (misalnya). Sehingga nilai
murni dari puisi itu sendiri yang bicara kepada kita, tanpa kita tunggangi
dengan perasaan yang kita sendiri. Tapi tidakkah kehendak semacam ini adalah
tarik menarik dari suara yang merentang-rentang di sepanjang usia pertumbuhan
sastra itu sendiri?

Tubuh luar sastra, umpamanya novel atau puisi, bisa kita lakukan proses keilmuan
seperti di dalam dunia sains fisika. Sebuah novel, dari manapun novel itu, dan
siapa pun pengarang novel itu, anggaplah sebuah batu yang diangkut ke dalam
laboratorium. Di dalam laboratoriumnya (hehe sebenarnya laboratorium itu hanya
di banner itu saja), seorang ilmuwan sastra dan budaya, mulai membongkar novel
itu ke dalam sains sastra. Mulailah tuan yusri fajar menarik sebuah novel ke
dalam disiplinnya sendiri - ia inginkan kajian budaya. Ia telisik geneologi
novel itu: entah ide, bahasa, totem, atau paradigma dalam novel, yang bisa ia
lekatkan kepada permainan ruang-ruang budaya, dalam kehidupan manusia yang
saling berinteraksi, saling pengaruh-mempengaruhi. Ia dikotomomikan warna
manusia atau sejarah manusia yang terekam sebagai suara terjajah dan suara
penjajah. Atau tuan nuruddin akan menariknya ke dalam perkembangan ide-ide di
dalam dunia filsafat, filsafat kuno atau filsafat mutakhir. Dan akhirnya, tuan saut situmorang masuk ke dalam tubuh novel dengan langkah-langkah intrinsik.

Tapi sudahkah kita mendapatkan ukuran seperti panjang sebuah batu, dalam derita
seorang tokoh di dalam novel? Berapakah panjangnya penderitaan hati seorang
tokoh novel perempuan dalam novel azab dan sengsara, dan berapa pula dalamnya
penderitaan seorang tokoh novel zainuddin dalam tenggelamnya kapal vanderwijck?
mungkin sains sastra atau budaya belum memiliki jawaban: ukuran yang eksak itu.
Lalu kemana jawabannya hendak kita cari? Kita akan mencarinya di dalam filsafat
keindahan. Teori tentang keindahan pun tidak memiliki ukurannya. Cassirer yang
menjelajah ke dalam filsafat lambang sebagai ekpresi kebudayaan, tak pernah
keluar dengan kesimpulan bahwa mimesis aristoteles pernah menghitung panjangnya
penderitaan seorang tokoh dalam novel, dengan aritmatika analitik novel,
misalnya. Atau geometri analitik, bentuk penderitaan sang tokoh novel, yang
kalau disorotkan ke dalam hati manusia, mungkin akan berupa kurva naik turun dan
bersegi-seginya kesedihan dalam hati.

Teori keindahan karakteristik yang memandang ke dalam untuk keluar sebagai
bentuk ala gothe pun hanya mengatakan kepada kita, bahwa novel punya makna,
karena kemampuannya menyingkapkan realitas benda-benda. Tetapi berapa panjang
dan lebar ketersingkapan format benda-benda itu dalam kaitan hati dan pikiran
manusia yang mengalami? Sebuah peluru yang dilepaskan senapan aku-prosaik dalam
cerpen agus noor, zikir sebuah peluru, menerpa korbannya seperti peluru pasukan
tentara menerpa kepala sang mahasiswa, berapakah panjang dan lebarnya kesedihan
keluarga sang korban, yang diterpa realitas benda - peluru - itu? Dan dengan
alat apakah kita menghitung hati yang tertimpa benda?

Kemarin di dalam milis apresiasi sastra ini, jaran goyang membuat sebuah puisi
dengan seseorang mengecap dosa manis di surga, dosa yang dikecap pula oleh puisi
yang amat panjang yang menjadi motif Milton, yang bait awalnya bercerita tentang
kejatuhan manusia dari surga - paradist lost.

of mans first disobedience, and the fruit
of that forbidden three, whose moratal taste
brought death into the world, and all our woe,
with loss of eden,till one grater man
restore us, and regain the blissful seat...

Dengan ukuran apakah kita akan menghitung representasi dari duka abadi,
dari kisah kejatuhan manusia semacam itu?

Sampai di sini, kita masuk ke dalam sesuatu yang memang seolah tidak bisa diukur
secara eksak. Seolah kita berhadapan dengan ruang jiwa kita sendiri: berapa
sebenarnya panjang dan lebarnya kedalaman pikiran kita, atau panjang dan
lebarnya kedalaman perasaan kita. Atau kalau mau meningkat, kita akan berhadapan
dengan tuhan: berapa panjang dan lebarnya yang tak terkatakan? Tetapi zat dengan
sifat dan unsur-unsur apakah, yang hendak kita hitung? Tuhan tak terkatakan
sebagaimana roh tak terbayangkan. Lalu bagaimana kita akan menghitung sesuatu
yang kita tak bisa membayangkannya? Nampak seolah fisika dan sastra hanya bisa
menghitung jejak-jejaknya.

Mungkin kita hanya bisa berspekulasi tentang miliran tahun sisa-sisa usia
semesta, akan tampak dan nyatanya semua hal batin yang kini terpinggir dalam era
sains. Bisa dihitung secara eksak pasti. Seolah seismograf menghitung gerak
bumi.

Mungkin suatu ketika, tuhan yang maha baik itu, akan menurunkan otak jenius ala
Einstein lagi. Kini diciptakannya alat untuk mengukur perasaan manusia bernama
seismograf hati. Alat hitung hati yang berdebar atau pikiran yang berdenyar,
yang sudah dibentukkan seorang pengarang ke dalam jalinan plot dan alur yang
membentuk cerita dalam novel. Ide-ide, yang lalu dan melalui plot dan alur itu,
atau konflik tokoh novel, di mana narasi novel menegakkan renungan sang tokoh
novel, atau ia mengambil alih sendiri narasi ke dalam retorika narator, semua
itu diangkut dan dicemplungkan ke dalam mesin penghitung unsur-unsur novel,
sebagaimana mesin catur super yang dilawan oleh kasparav, mesin ini pun akan
merespon bahan yang masuk ke dalam dirinya dan mengeluarkan bahan itu berupa
hitungan kepada kita.

Tuan, panjangnya penderitaan siti nurbaya mendekati angka seratus, seperti
panjangnya sebilah parang belati yang diayunkan syamsul bachri ke dada datuk
maringgih. Seperti itulah panjangnya penderitaan siti nurbaya. Dan dalamnya juga
hampir seratus, seperti dalamnya perasaan si aku lirik puisi Saut situmorang
yang terkenang sang ibu saat mengembara, bertualang sebagai bujang ke negeri
orang.

Mungkin kelak mesin seperti itu tercipta. Di mana pakar sastra bertemu dengan
pakar mekanika. Sang pakar sastra memberikan batangan batangan berupa
unsur-unsur novel atau puisi. Sementara pakar mekanik menyiapkan alat-alatnya.
Sehingga kini segala unsur-unsur pembentuk karya sastra, bisa didekati dengan
ukuran, sebagaimana pakar fisika mengukur menyempalnya ion dari jumlah wajar
proton dan electron. Siapa yang tahu? Seperti novelis eka kurniawan bercerita
kepada saya, bahwa kini ada mesin yang bisa membuat skenario tiap-tiap kalimat,
membentukkan jaringan-jaringan ceritanya dengan pelbagai kombinasi cerita.

Tetapi sementara ini kita tahu, bahwa pendekatan karya sastra adalah intrinsik,
dengan menyorot peristiwa di dalam alur dalam teks naratif misalnya. Atau secara
ekstrinsik segala ide-ide yang berkembang, yang mungkin ditautkan pada dunia
sastra. Atau ide itu sendiri yang dicangkokkan ke dalam dunia sastra,
misalnya posmodernisme yang berkembang di dalam dunia filsafat, sebagai pelawan
filsafat era modernisme. Menetap dalam dunia sastra sebagai prosedur kritik
sastra misalnya. Karena mesin semacam itu belum tercipta, dan haruslah segera
tercipta agar kontroversi tiap pembagian hadiah sastra bisa dihilangkan, kita
hanya tahu esai atau kritik sastra yang bagus membuat kita bergetar saat
membacanya. Di mana unsur-unsur novel nampak datang bersamaan dengan esai atau
kritik sastra itu sendiri. Bergabung menjalar ke dalam pikiran kita dan ke dalam
perasaan kita. Adakah ia mengabarkan kebenaran, atau kepastian sebuah kesedihan
dalam hati, dalam sebuah ukuran yang bisa ditetapkan oleh bilangan?

Lagi pula urusan seni - seni sastra - bukanlah urusan kebenaran. Apalagi
kebenaran yang di atau hendak, kita cangkokkan dari dunia moral formal. Seni
tidak berurusan dengan kebenaran semacam itu. Seni berurusan dengan permainan
bentuk dan ide - bentuk dan ide yang telah tersedia di dunia, sebagai bentuk
fisik alam maupun bentuk turunannya, di dalam segala macam bentuk dan lambang
yang ada dan berkembang dalam alam manusia.

Saya kira istilah kritik sastra dalam sains sastra, keketatannya harus
direnungkan kembali di dalam pemakaian konsep kritik, sebagai cara
mendekati suatu karya sastra. Kalau kita kembalikan kepada mula respon manusia
kepada gejala alam, alam fisik atau alam dalam dirinya sendiri, maka yang
pertama-tama, dia bukanlah tampil sebagai pengkritik alam, tapi sebagai penikmat
alam dengan segenap keheranan dan ketakjuban. Demikian juga dengan mula
pertumbuhan manusia terhadap perasaan keindahan dalam memandang alam, yang
kemudian dilekatkan oleh manusia itu ke dalam dirinya sendiri, mulai
membentukkan pengalaman keindahannya ke dalam bentuk seni. Bahwa apresiasi
semacam itu melibatkan unsur-unsur sastra yang dilihat melalui konsep-konsep
sastra, dia mula pertamanya bukanlah hendak membuat suatu kritik, tapi sebuah
apresiasi. Di mana sang pengarang bertemu dengan sang pembaca dalam resepsi
pembaca yang menggunakan pelbagai perangkat sastra.

Atau biarkanlah ilmuwan sastra bermain dalam ranah kritik sastra dengan prosedur
kerja kritik sastra yang ketat dalam sebuah sains sastra (sebuah kehendak yang
harus kita hormati), sementara kita membiarkan tumbuhnya apresiasi sastra dengan
pelibatan pendekatan terhadap sastra dari jurusan-jurusan manapun. Keduanya akan
bertemu dalam satu titik garis singgung: ekpresi manusia dalam ranah bahasa,
lebih sempit lagi dalam ranah sastra.

Tapi filsafat ilmu yang paling mutakhir menggemakan suara kepada kita, bahwa
kita membutuhkan mesin seismograf hati, untuk dan agar sains sastra bisa
mengatasi sains fisika.

ih asiknya hehe
beginilah nasib seekor hh

(Hudan Hidayat)
 


the FINAL THEORY - JURNAL SASTRA TUHAN HUDAN