SITOK SRENGENGE BICARA : MENANGGAPI UMBARAN FITNAH DARI WOWOK HESTI PRABOWO DAN SAUT SITUMORANG

11/08/2009 14:58

02 October 2007

[media-jabar] Sitok Srengenge bicara: Menanggapi umbaran fitnah dari Wowok Hesti Prabowo dan Saut Situmorang

Pengantar dari Radityo Djadjoeri:
 
Setelah hampir sebulan lamanya terjadi "perang kata-kata" di dunia maya, para tokoh di Komunitas Utan Kayu (KUK) pelan-pelan mulai muncul dan bicara. Tentu saja mewakili pribadi, bukan komunitas. Salah satunya adalah Sitok Srengenge,  Kurator Teater dan Anggota Tim Redaksi Kalam. Ia tak tahan untuk bicara, guna menangkis segala fitnahan yang diumbar oleh Wowok  Hesti Prabowo dan Saut Situmorang.
Buat Anda yang belum mengenal Sitok, baiklah saya cuplikkan sekilas perjalanan hidupnya, bersumber dari situs www.utankayu.org. Sitok lahir di Desa Dorolegi, sebuah perkampungan petani kecil dengan tradisi lisan yang kukuh, di pedalaman Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Sembari kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, IKIP Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta), ia belajar di Bengkel Teater pimpinan Rendra dan kursus filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
 
Puisi-puisinya terbit dalam kumpulan Persetubuhan Liar merupakan antologi puisinya yang pertama (terbit tahun 1992 dan 1994), disusul Kelenjar Bekisar Jantan; Anak Jadah; dan Nonsens. Puisi-puisinya juga menjadi bagian buku The Poets' Chant (Istiqlal International Poetry Reading, 1995), Chants of Nusantara (Sovia, Bulgaria, 1995), Dinamika Kaum Muda IPNU dan Tantangan Masa Depan (1997), Secrets Need Words (Ohio University, Ohio, USA, 2001) dan lainnya. Sejumlah ceritanya terbit dalam Para Pembohong (1996). Novel pertamanya terbit bersambung di harian Media Indonesia dengan judul Tidur, Cintaku, Tidur—yang kemudian ditulis ulang menjadi Menggarami Burung Terbang.
 
Nah ini dia hasil wawancara Rizka Maulana dengan Sitok Srengenge:
 

Mas Sitok, saya mau wawancara tertulis lewat e-mail dengan Anda. Soalnya bulan Ramadhan ini jalanan macet dan saya tinggal di Bogor. Kalau Mas Sitok setuju, inilah pertanyaannya:
 
RM: Dalam polemik yang bersliweran tentang TUK (atau KUK) Mas Sitok tidak memberikan keterangan atau komentar selama ini. Mengapa? Menganggap sepi serangan itu?
 
SS:  Hello, Rizka. Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, izinkan saya bertanya dulu. Dapatkah Anda memberi sedikit lebih keterangan tentang diri Anda? Misalnya, Anda kerja di mana, wawancana ini untuk media apa? Maaf, ya, soalnya kita kan belum kenal. Saya membaca nama Anda beberapa waktu lalu ketika saya dikirimi email seorang teman.
Tapi, semua itu boleh Anda katakan belakangan, atau tidak sama sekali.
Begini. Saya kurang pasti, mana yang Anda anggap "polemik tentang KUK" itu? Ada selebaran yang sampai ke tangan saya. Di sana tak saya temukan lontaran ide atau konsep yang jelas, yang disampaikan dengan argumentasi dan didukung fakta atau data. Yang dominan justru gosip, makian,  dan bahkan fitnah.  Itu bukan polemik namanya.
Bukannya saya menganggap sepi. Saya dengar, serangan itu paling gencar terjadi di milis. Kebetulan, saya bukan orang yang gemar menjadi anggota milis.  Saya takut tiap hari inbox saya kebanjiran email. Selain itu, saya sekarang ini sibuk sekali. Novel trilogi saya, Kutil,
yang dulu dimuat bersambung di harian Suara Merdeka, sedang saya tulis ulang. Saya juga sedang menyiapkan buku kumpulan puisi baru. Mudah-mudahan tahun depan bisa terbit. Belum lagi urusan pekerjaan di KUK, di KataKita, dan sejumlah  pekerjaan lain yang membuat saya harus mondar-mandir Jakarta-Jogja.
 
RM:  Ada yang mengutip kata-kata Mas Sitok, bahwa penyair yang tidak diundang ke KUK bukan penyair. Kenapa mas Sitok mengatakan demikian? Itu kan namanya arogan?
 
SS: Saya setuju. Itu arogan namanya, kalau saya—atau siapa pun—berkata seperti itu. Saya diberi tahu banyak teman bahwa tuduhan itu dikatakan, bahkan ditulis dalam makalah, oleh Saudara Wowok Hesti Prabowo.  Memangnya saya begitu naif dan tidak tahu bahwa ucapan seperti itu tidak layak, keliru, dan bisa menyinggung perasaan orang lain?
Maka tolong tunjukkan kapan, di mana, dalam forum apa saya mengatakan itu? Kalau kalimat itu saya nyatakan secara tertulis, tulisan itu dimuat di media apa, kapan tanggal pemuatannya? Nah, sebaliknya, siapa pun yang menuduh tanpa bisa menunjukkan bukti,
itu memfitnah.
 
Wowok konon bertujuan untuk menganggap KUK tidak penting. Itu bagus. Tapi  mengapa dia begitu peduli dengan KUK? Harusnya KUK dia abaikan saja. Bikin kegiatan lain yang lebih bagus. Kembangkan jaringan yang lebih luas.
 
RM:  Dalam posting Tita Ruby dalam Art & Culture dibandingkan menyelenggaraan Biennale Senirupa dengan Biennale Sastra Utan Kayu, yang Mas Sitok ketuai tahun ini.  Tita Rubi mengatakan dalam Biennale Seni Rupa ada pertanggungjawaban kurator, tapi dalam Biennale Sastra tidak. Mengapa ini?
 
SS: Saya juga dapat print-out tulisan Titarubi itu. Saya suka sikap Tita. Di awal tulisannya ia minta maaf jika tulisannya tidak baik atau terjadi salah penggunaan titik-koma. Padahal, Anda baca kan? Tulisannya bagus, pikirannya juga jernih.
 
Bandingan yang dilakukan Tita, antara KUK dengan Cemeti, juga Utan Kayu International Literary Biennale (UKILB) dengan CP Biennale, bagi saya menarik. Saya memang melihat sejumlah faktor yang mirip di sana.
 
Tapi, yang sungguh tidak sebanding, dan tentu tidak setara, adalah menempatkan serangan Saudara Saut Situmorang dan Wowok sebagai "kritik". Sejauh yang saya pahami, tindakan mereka  hanya marah-marah, atau berpura-pura marah.
 
Tapi, baiklah, mari kembali ke tanggapan Tita. Jika sebuah tim kurator sudah melakukan tugasnya secara baik, menurut saya itu sudah bertanggung jawab. Kalau pertanggungjawaban yang dimaksud adalah "penjelasan" mengapa memilih Si A dan bukan Si B -- mengapa harus? Karena itu acara publik?  Sebuah festival sastra mirip sebuah
pertunjukan, dan kuratornya seperti produser atau sutradara.  Kita tahu sutradara film dan teater tidak harus menjelaskan mengapa memilih aktor-aktornya, bukan aktor-aktor yang lain. Pengelola media massa juga tidak harus menjelaskan kenapa memuat tulisan/berita tertentu dan bukan yang lain. Artinya, banyak hal yang berhubungan dengan publik, namun tak semuanya harus dipaparkan kenapa begini, mengapa begitu. Publik dapat menilai sendiri mutu sebuah festival atau apa pun yang bersentuhan dengan mereka.
Sebenarnya penjelasan tentang UKILB, meski barangkali kurang memuaskan, sudah diberikan oleh direktur festival. Di sana dijelaskan tentang pemilihan tema, tujuan, juga keterbatasan festival. Beberapa wartawan juga menanyakan perihal pemilihan penulis-peserta. Kepada mereka telah kami jelaskan. Tidak berarti kita tidak mau dan tidak akan mencoba mengikuti model biennale seni rupa. Tapi, selain itu tak bisa kita jadikan ukuran, ada banyak festival sastra di dunia yang tidak memberikan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud. Di Indonesia, setidaknya ada dua festival sastra internasional (Festival Sastra Internasional, yang dulu diselenggarakan oleh Saudara Agus Sarjono dan Rendra, dan Ubud Writers and Readers Festival) di samping yang diselenggarakan KUK.
Mereka pun tidak menggunakan "pertanggungjawaban" model biennale seni
rupa.
 
Lagipula, saya ragu, benarkah dengan adanya "pertanggungjawaban" lantas tidak akan ada kontroversi. Kontroversi sebenarnya bagus, kalau disertai argumen dan data. Saya memahami pandangan Tita yang bijak, bahwa serangan Saut itu merupakan bentuk kepedulian dan rasa memiliki. Bagus jika hal itu benar. Yang saya sayangkan, kenapa mereka menempuh cara-cara kasar seperti itu. Secara pribadi kami tak punya masalah dengan mereka. Kami saling kenal. Dengan mudah mereka bisa bertanya atau berdialog
langsung jika ada hal-hal yang perlu dikomunikasikan. Tapi, soalnya lain jika mereka cuma bisa membuat selebaran yang isinya mau ganas, tapi  hanya menjemukan.
Rizka Maulana:  Lahir  25 Maret 1981  di Plaju. Sekarang menetap di Bogor. Bekerja sebagai guru privat gitar (klasik). Juga menulis telaah budaya untuk beberapa media di daerah.
 
Sumber:
ACI (Art & Culture Indonesia)
 
 
Catatan:
Hasil wawancara ini dapat dikutip tanpa perlu seizin penulisnya. Apabila Anda ingin bertanya lebih mendalam, silakan kirim e-mail kepada Sitok Srengenge:

the FINAL THEORY - JURNAL SASTRA TUHAN HUDAN