Tuan Taufiq Ismail sedang membisikkan hatinya sendiri ?

04/08/2009 21:12

Tuan Taufiq Ismail sedang membisikkan hatinya sendiri?

Oleh Hudan Hidayat


Sejak Pidato Kebudayaan, sampai dengan kirim e-mail kepada Dubes Salim Said di Praha itu, Tuan Taufiq Ismail telah "main kayu" dalam berwacana tentang sastra Indonesia.

Coba bayangkan, dia yang melancarkan stigma sastra SMS, sastra FAK.
Samar-samar, tersebut nama Djenar Maesa Ayu dan Ayu Utami. Tapi tidak ada telaah, karya yang mana dan pada bagian mana sastra yang disebutnya bersyahwat-syahwat itu. Masa iya sih, dari ratusan lembar tulisan itu, syahwat semata seperti yang dituduhkannya? Karena itu saya bilang, sastra mereka bukan fiksi selangkangan, tapi memakai medium "seks" sebagai sampiran, untuk sesuatu yang lebih tinggi. Jadi, ada transendensi. Ada kontemplasi.

Belakangan, setelah saya merespon Pidato Kebudayaan yang membuat banyak orang geli itu, saya pun kena tuduhan serupa: Hudan Hidayat dan Gerakan Syahwat Merdeka.

Saya berani taruhan, bahwa "Tuan Penyuara Gerakan Syahwat Merdeka" kita ini, tak pernah membaca novel saya dan Mariana, "Tuan dan Nona Kosong" (meski awal terbitnya sudah saya berikan pada orang-orang HORISON untuknya), tetapi dengan sengit telah melancarkan tuduhan.

Coba saya tanya, Tuan Taufiq, apakah "seks" di dalam novel kami itu semata dunia selangkangan? Bila iya, pada bagian mana? Tidakkah ia adalah sebuah upaya yang luar biasa, dari seseorang untuk menjangkau Tuhannya?

Tentu saja, sastra bisa didekati dengan "bahasa" apa pun, meski pendekatan tetap harus ada batas-batasnya. Karena sastra adalah dunia tersendiri, di samping dunia-dunia tersendiri lainnya, yang memang diciptakan Tuhan seperti itu: mempunyai kekhasannya sendiri. Seperti ada gunung ada ngarai. Ada malam ada siang. Dan semua dunia ini mempunyai bahasanya sendiri dan hukum-hukumnya sendiri.

Jelas sekali Tuan Taufiq mendekati sastra dengan bahasa moral agama (Islam). Tetapi dia mengatakan, saya yang mengutip Quran, dia tidak. Baiklah. Tapi saya tanya, dari mana moralitas Tuan yang (seperti saya juga yang menolak), sepenuh energi mengerahkan segala daya untuk mengatakan telah terjadi syahwat-syahwatan semata dalam sebagian sastra Indonesia ? Bukankah tindakan seseorang datang dari keyakinannya? Kalau demikian, apakah gerangan keyakinan Tuan?

Menyadari ini, maka saya langsung mengajak Tuan untuk sama-sama melihat, bagaimana sesungguhnya "maunya" Kitab Suci itu, terhadap pokok yang sedang kita bincangkan. Tapi Tuan bungkam.

Kebungkaman Tuan Taufiq, ternyata datang dari dua hal:

1) berlogika dalam sastra tidak dikerjakannya lagi, sudah dikerjakannya 30 tahun yang lalu. Dan ini kan lucu! Bagaimana mungkin? Dia kan harus mempertanggung-jawabkan stigmanya itu! Ini kan sama dengan tuduhan: hey, kamu kan penjahat! Lho, kok kamu menuduh saya penjahat? Iya pokoknya kamu penjahat. 30 tahun yang lalu saya juga menemukan penjahat kok.

2) bahwa Tuan Taufiq Ismail anti pada intelektualitas, dan kasar dalam "berdialog", serta yang lebih berat lagi, dalam hatinya telah berkecambah tuduhan yang jauh sekali dari contoh-contoh yang diperagakan Nabi: lemah-lembut sesama, bersangka baik dengan sesama.

Mengapa? Simaklah surat kepada Salim Said itu (halaman 2): siapapun yang berbicara dengan aktivis 10 komponen gerakan ini dengan memakai ukuran moral manusia waras dan normal, apalagi agama, akan mereka tertawakan habis-habisan. Juga Tuan Taufiq suatu ketika berkata kepada saya: percuma berbicara agama dengan mereka. (Maaf Tuan, Nabi kita didustakan dan beliau tetap berbicara dengan musuh-musuhnya, dengan santun dan kasih sayang pula).

Dan siapakah aktivis itu: adalah atheis, homoseks, lesbian, feminis, dan anarkis - semua mahluk-mahluk Tuhan juga. Jadi di mata Tuan Taufiq, semua orang sudah bersalah semua, kecuali, mungkin, penulis-penulis sastra yang bergabung dalam Forum Lingkar Pena (FLP), karena tidak menulis sastra dengan sampiran "pornografi" dalam karya-karya mereka.

Lalu, ini apa? Bagaimana mungkin seorang Taufiq Ismail bisa menggenggam kebenaran sendirian? Bagaimana mungkin di dalam hatinya tidak sedikit pun terlintas untuk melihat kemungkinan kebenaran di dalam diri orang lain, setidaknya "kebenaran" dalam sastra - yakni kebermaknaan sebuah karya sastra untuk manusia.

Sudah jelas, saya bagian aktivis yang dituduh oleh Taufiq itu. Tetapi toh saya malah yang mengajaknya memandang karya sastra dalam perspektif agama. Saya tidak menertawakan. Malah Taufiq yang bungkam, diam. Mengungkapkan dengan kalimat "moral manusia waras dan normal" seperti itu, Taufiq hendak mengatakan mereka tidak waras dan tidak normal. Bagaimana dengan feminis seperti Musdah Mulia, Maria Ulfah, Sinta Nuriah Wahid, Farha Ciciek, dan Debra Yatim yang santun serta sangat Aceh itu, juga tidak waras dan tidak normal?

Haraplah dicatat, feminis-feminis ini mempunyai keluarga baik-baik, dengan suami dan anak- anak mereka yang baik-baik. (dengan segala hormat, mohon beliau-beliau ini ikut menyumbangkan suaranya dengan segenap tuduhan ini).

Saya melihat malah rekan se"ideologi" Taufiq lebih matang dalam berwacana, lebih dewasa pula. Semisal Saut Situmorang dan Kuswaidi, yang berani dan mau masuk ke substansi masalah yakni sastra pornografi, meskipun hemat saya, kedua penulis ini tidak menggunakan metodologi yang maksimal dalam argumen mereka.

Pada titik ini, akhirnya saya harus mengakui warning M. Faizi dalam tulisannya di harian Jawa Pos, bahwa "petasan-petasan yang disulut Taufiq Ismail dan Hudan Hidayat adalah berbahaya dan menakutkannya." Tapi saya memandang bahaya itu datang dari Taufiq Ismail dengan kedua poin yang sudah saya kemukaan ini.

Saya disebut Taufiq tidak peduli dengan destruksi sosial. Siapa bilang? Terasa bagi saya di sini Taufiq sangat sloganistik. Sangat verbal dan sempit pikiran. Semua pengarang boleh saja menggarap karyanya, tidak mesti seluruh kerusakan yang diterminologikan sebagai Gerakan Syahwat Merdeka oleh Taufiq itu, yang boleh diangkut ke dalam karya sastra.

Dalam kaitan dengan tuduhan a-sosial ini, terkait dan berkait dengan tuduhannya yang lain, bahwa saya mengalihkan 10 isyu yang dipeluk-ditimang oleh Taufiq Ismail yang, mohon maaf, tidak bisa saya hindari kesan seolah "dagangannya" ke muka publik, seperti sering dieejekkan kawan-kawan seniman.

Mengapa? Karena tidak pernah/atau belum pernah, saya mendengar atau melihat seorang Taufiq Ismail mempunyai gerakan konkret terhadap masyarakat kecil yang terkena seluruh destruksi yang disebutkannya itu, kecuali kegiatannya menulis, membaca puisi, atau ceramah. Tentu saja, kegiatan ini pun mulia.

Saya katakan, bahwa saya boleh memasuki dari bagian mana saja dari poin pidatonya, tanpa harus terkena tuduhan mengalihkan isyu. Apalagi poin yang saya masuki adalah hal yang langsung mengenai dunia yang saya geluti. Yakni sastra. Melarang saya mengekplorasi salah satu poin itu, sama dengan tindakan yang tidak demokrat dalam sastra. Menuduh saya tidak peduli karena saya fokus kepada poin itu, sama dengan tindakan/keinginan menyeragamkan pikiran manusia - sesuatu yang dilarang Tuhan secara keras. Dan kalau boleh berkata, saya menulis juga kok, akan imbas-imbas yang Tuan maksudkan itu, tetapi tentu, dengan "gaya sastra" yang pastilah Tuan tentang. Baca deh, buku-buku saya, Tuan Taufiq, sebagaimana saya membaca buku-buku Tuan.

Dan lihatlah cara-cara kasar dan antiwacana seorang Taufiq Ismail, dengan membuat metapora kebakaran yang seluruh keluarga sibuk memadamkan api, tapi ada anak kecil umur 10 tahun yang merengek-rengek minta jatah jajan belanjanya. Yakni, HH.

Inilah metapora yang sangat menghina pemikiran - khususnya pemikiran sastra. Inilah kehendak seorang fasis yang ingin dan memaksakan rakyatnya agar seragam dalam berpikir dan seragam dalam bertindak.

Dan ini terasa sekali dengan metaporanya yang lain lagi, yang bagi saya sangat berbahaya dan sangat menghina pendidikan di Indonesia . Lihatlah kata-kata Taufiq: seorang guru mengajarkan alphabet "a" sampai "k", tapi ada seorang anak yang hanya mau menyebut "g" saja meski sudah dipaksa.

Apakah artinya ini? Sang guru telah melampaui wewenangnya sebagai manusia, yaitu seolah tidak mungkin luput dari kesalahan, dengan memaksakan sesuatu yang tidak/belum sempat "disukai/disentuh" oleh muridnya.

Dengan menindas dan mematikan kemandirian dan keberanian muridnya untuk berpikir lain, berpikir sendirian dari arus massa yang nota bene telah merusakkan segi-segi kita sebagai bangsa (ingatlah korpri, pakaian seragam, yang telah menjadikan bangsa kita tidak kreatif, takut dan tidak punya inisiatip kemandirian. Tidak punya visi sendiri).

(Idiiihhh, Tuan Taufiq genit deh, dengan memetaporakan diri sebagai guru, dan HH sebagai anak didiknya).

Ada satu lagi yang saya ingin tandaskan, Tuan Taufiq, Tuan Saut, dan Tuan Kuswaidi, bahwa dunia sastra adalah dunia kreatif yang kejam. Hanya orang bernapas panjang dan bersaraf baja saja yang berhasil. Dan tentu saja berbakat, Tuan. Tidak ada katrol-katrolan di dunia sastra. Setidaknya bagi saya. Sebagus apapun hubunganmu, kalau karyamu jelek, maka kamu akan
tenggelam bersama waktu.

Sudah sejak awal saya masuk dunia sastra, saya tanamkan pikiran ini di hati. Hampir 15 tahun sejak saya pertama kali menulis, saya memendam sendiri keinginan saya, melatih sendiri diri saya, tidak pernah merengek, tidak pernah bergantung dengan siapapun. Saya membatu dalam hati saya sendiri.

Dan hingga hari ini prinsip itu saya anut. Tak tergantung. Jadi saya berjuang sendiri. Kalaupun saya berkawan, itu dalam kesetaraan. Begitu juga saya berkawan dengan penyair Sutardji Calzoum Bachri. Dan tak pernah sekalipun saya menunggangi kebesaran seorang Sutardji! Jadi kalau Tuan-Tuan berpikir saya (dan Mariana) menyerap tenaga-tenaga kalian, untuk sebuah popularitas, ini kelucuan dan kebodohan macam apa lagi? Dan Mariana, adalah seorang intelektual, seniman, aktivis dan Direktur di sebuah LSM perempuan. Jadi tak perlu kalian katrol, dia sudah mampu mengkatrol dirinya sendiri.

Anak muda ini cerdik sekali mencari cara mempublikasikan dirinya dan bisa jadi kasus contoh praktek di London School of Public Relations, tulis Taufiq.

Ini pun penghinaan bagi seorang yang ingin melihat dunia sastra maju, semarak dengan perdebatan, dan permainan yang membahagiakan. Lepas dari kesunyian dan keterpencilannya dibanding bidang-bidang lain. Dunia sastra yang bisa menjadi "oase" bagi dunia real di Indonesia.

Apanya yang cerdik, Tuan, kalau semua tindakan saya, saya letakkan dalam bingkai aksi-reaksi: ada pidato kebudayaan Tuan, saya tertarik, saya membuat esai. Ada SMS Tuan yang nyasar ke kantor saya, saya membela diri dengan menulis. (meskipun dalam surat Tuan itu, Tuan menyanggah telah mengadukan saya, tapi faktanya ada SMS tuan ke kantor saya).

Dengan kata-kata "cerdik" itu, malah saya jadi berpikir, jangan-jangan Tuan sedang membisikkan hati Tuan sendiri. Dan Tuan Taufiq minta ditunjukkan bagian mana dari Pidato Kebudayaan dan esai Tuan di Jawa Pos itu (HH dan Gerakan Syahwat Merdeka), yang menindas kebebasan kreatif. Saya akan jawab: stigma Tuan bahwa ada sastra Indonesia yang berputar pada selangkangan itu, (mau) mengkerangkeng pengarang Indonesia untuk memilih ekspresinya sendiri.

Padahal dia bukan berputar di selangkangan, tapi mengutarakan tubuhnya (tanpa terjatuh pada pornografi), sebagai bagian yang diberikan Tuhan padanya. Sebagai salah satu unsur cerita untuk meraih maknanya yang lebih luas. Tetapi kalau VCD porno, pelacuran anak dan sebagainya, kita pun menolak.

Saya akan menyudahi tulisan ini, dengan sekali lagi membuat sebuah argumen yang hemat saya sederhana sekali: tentu saja saya "atheis", tidak percaya kepada Tuhan yang seperti dibayangkan oleh Taufiq Ismail, Tuhan yang mengkerangkeng hambanya untuk mengembangkan nikmat berupa bakat-bakat serta potensi yang sudah diberikan oleh-Nya sendiri. Melalui penceritaan kehidupan dengan memakai imajinasi dan aspirasinya. Bagi saya Tuhan tidak seperti itu.

Bagi saya Tuhan nyaman kok pada mahluk-Nya. Karena itu saya berkata, "Kita semua cuma anak-anak nakal di mata Tuhan".

Tetapi terima kasih untuk doanya. Saya pun ingin mendoakan Tuan: semoga Tuan segera mendapat pencerahan, sehingga dapat lebih rendah hati terhadap kehidupan.

Jakarta, 26/102007

(hudan hidayat)

 

 
  ___________________________________
 
  E-mail dari Taufiq Ismail untuk Salim Said di Praha



 
  Ass.w.w.

Bung Salim Said yang budiman,

Selamat Idulfitri dan Taqabbala Llahu Minna wa Minkum, semoga Ramadhan kita barokah dan kita dinaungi keteduhan Payung Agung KeampunanNya. Amin. Mudah
-mudahan Anda bersama Hera, anak-anak di Praha dan Rita di Ohio sehat serta sejahtera senantiasa, di akhir musim gugur yang tentulah menghadirkan simfoni warna dedaunan yang indah-indah.

Terima kasih atas kiriman e-mail 20 Oktober 2007 berjudul "Taufiq Ismail Mengadukan Hudan Hidayat Atheis Kepada Pemerintah," sebuah judul hasil angan-angan HH yang kesasar. Interaksi antara HH dengan saya, dimulai dengan rangkaian "polemik" selepas Pidato Kebudayaan saya di forum tahunan Akademi Jakarta, 20 Desember 2006. Sesudah lewat lama, yaitu lima bulan kemudian, barulah HH menulis di Jawa Pos, 6 Mei 2007, bertajuk "Sastra yang Hendak Menjauh dari Tuhannya." Kemudian sampai Agustus 2007 lima penulis ikut dalam "polemik" tersebut.

Sebelum saya merespons judul sesat e-mail itu, baiklah saya cantumkan di bawah ini ringkasan Pidato Kebudayaan (berjudul "Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka" --- atau BMDH-GSM) yang menjadi titik pangkal interaksi tersebut, agar semua fihak yang ingin tahu dapat gambaran mengenai masalah yang saya kemukakan.

1. Ringkasan pidato "Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka."

Di dalam gelombang reformasi yang membawa perubahan politik sewindu yang lalu, sebuah arus besar digerakkan oleh kelompok permisif dan adiktif menumpang masuk ke tanah air kita. Arus besar itu, sesuai karakteristiknya, tepat disebut sebagai gerakan syahwat merdeka.

Tak ada sosok dan bentuk organisasi resminya, tapi jaringan kerjasamanya mendunia, kapital raksasa mendanainya, ideologi gabungan melandasinya dengan gagasan neo-liberalisme sebagai lokomotifnya, dan banyak media massa jadi pengeras suaranya.

Ada sepuluh komponen dalam gerakan dengan seks sebagai jaringan pengikatnya ini:

Pertama, praktisi sehari-hari seks liar, yang bisa gratis karena sama-sama suka atau dengan janji membayar dalam jaringan prostitusi.

Kedua, penerbit majalah dan tabloid mesum, bebas tanpa SIUPP menjual wajah dan kulit perempuan muda.

Ketiga, produser dan pengiklan acara televisi syahwat, ditonton 170 juta pemirsa.

Keempat, 4.200.000 (empat koma dua juta) situs porno dunia, 100.000 (seratus ribu) situs porno Indonesia di internet. "Kami di Amerika," kata seorang pengamat sosial, "mengalami fenomena pornografi internet ini yang bagaikan gelombang tsunami setinggi 10 meter, melanda seluruh bangsa, dan kami melawannya hanya dengan dua telapak tangan."

Kelima, produsen dan pengecer VCD/DVD biru di Indonesia yang kini jadi sorga besar pornografi paling murah di dunia, dulu Rp 30.000, sekarang Rp 3.000 sekeping. Jumlah bajakan ditaksir 1 juta keping setahun, artinya setiap 25 detik 1 keping diproduksi, dan anak-anak SMP pun bebas membelinya.

Keenam, penerbit dan pengedar komik cabul, yang sasarannya anak-anak sekolah.

Ketujuh, penulis novel dan cerpen yang asyik dengan alat kelamin manusia, terbanyak perempuan, fanatikus narsis dan ekshibisionis yang rasa malunya sudah terkikis habis. Alirannya SMS (sastra mazhab selangkang), angkatannya Fiksi Alat Kelamin (FAK).

Kedelapan, produsen dan pengedar narkoba. Tiga juta anak muda dicengkeramnya, 40 orang sehari mati karenanya, dengan beban ekonomi 11,3 triliun rupiahnya.

Kesembilan, fabrikan dan pengguna alkohol, merdeka dijual sampai ke desa-desa, di penjual rokok depan sekolah dalam botol kecil, yang remaja bebas membelinya.

Kesepuluh, produsen dan pengisap nikotin. Setiap hari 156 orang mati karena 25 penyakit akibat rokok, saudara sepupu narkoba ini.

Mengapa alkohol, narkoba dan nikotin termasuk dalam kategori kontributor arus syahwat merdeka ini? Karena sifat adiktifnya, kecanduannya, yang sangat mirip, begitu pula proses pembentukan ketiga adiksi tersebut dalam susunan syaraf pusat manusia. Dalam masyarakat permisif, interaksi antara seks dengan alkohol, narkoba dan nikotin, akrab sekali, sukar dipisahkan.

Interaksi ini kemudian berlanjut dengan proliferasi penyakit syphilis, gonorrhoea, HIV-AIDS, kasus perkosaan, aborsi (2,3 juta abortus setahunnya, berarti di negeri kita setiap 15 detik seorang bayi mati) dan tindak kriminalitas berikutnya, seperti pemerasan, perampokan sampai ke titik-puncaknya pembunuhan. Setiap hari berita semacam ini berserakan di koran-koran.

Dalam destruksi sosial luarbiasa ini, dari banyak sebab, salah satu yang termasuk utama adalah RASA MALU YANG SECARA TRAGIS TELAH DIKIKIS HABIS OLEH GERAKAN SYAHWAT MERDEKA INI. Siapa pun yang berbicara dengan aktivis 10 komponen gerakan ini dengan memakai ukuran moral manusia waras dan normal, apalagi agama, akan mereka tertawakan habis-habisan. Mengembalikan dan menegakkan lagi budaya malu adalah kerja berat kita bersama.

2. "Polemik" Itu.

Sejak artikel pertama di Jawa Pos, 6 Mei 2007 dan seterusnya, HH hanya membahas butir ketujuh saja dari pidato BMDH-GSM, yaitu tentang (sebagian kecil) penulis Indonesia, yang mendapat angin selepas reformasi politik 1998, berasyik-asyik menggarap syahwat dalam karya cerpen, novel dan puisi mereka. Penulis-penulis itu, terbanyak perempuan, dipuji-disanjung oleh (sejumlah kecil) pengamat sastra, mendapat publikasi luas oleh koran besar, dan karena memang yang digarap itu masalah selangkang dan sekitarnya, persoalan sekitar fungsi alat kelamin, tentu saja buku mereka laku di pasaran.


Sepenuh energi HH membela kelompok ini, dengan
1) menggunakan teori-teori sastra begini-begitu,
2) mengutip ayat-ayat Quran dengan semangat menunjuk-mengajari, dan
3) mengatakan bahwa saya merepresi kebebasan kreatif. HH kesal karena saya hanya satu kali menjawab tulisannya (Jawa Pos, 17 Juni 2007).

Menjawab

(Butir 1) Saya tidak bersemangat melayani teori-teori sastra dan kutipan-kutipan HH, karena diskusi semacam itu sudah pernah jadi kerja saya 30 tahunan yang lalu, sekarang tidak lagi.

(Butir 2) Dalam BMDH-GSM saya tidak mengutip Quran sama sekali, malah HH (yang belakangan baru saya tahu dia mengaku atheis) yang mengutipnya. Itu pun secara salah.

(Butir 3) Saya minta ditunjukkan kalimat mana pada BMDH-GSM yang menindas kebebasan kreatif. Penindasan itu adanya cuma di dalam angan-angan cerebrum, otak kecil HH. Dua tahun lamanya saya tidak dapat menulis di media massa, 1964-1965, selepas pelarangan Manifes Kebudayaan (daftar hitam nama kami pendukung Manifes tersebar ke seluruh media massa zaman itu) dan pengalaman pahit tak terlupakan itu janganlah terjadi lagi pada siapa pun.

3. Destruksi Sosial Luar Biasa Raksasa, Tak Tampak.

HH tidak merasa peduli dengan destruksi sosial luar biasa raksasanya yang dilancarkan sepuluh pelaku Gerakan Syahwat Merdeka itu:
1) praktisi sehari-hari seks liar,
2) penerbit majalah dan tabloid mesum,
3) produser dan pengiklan acara televisi syahwat,
4) 4.200.000 situs internet porno dunia,
5) produsen dan pengecer VCD-DVD biru,
6) penerbit dan pengedar komik cabul,
7) penulis cerpen dan novel syahwat,
8) produsen dan pengedar narkoba, 40 orang mati sehari,
9) fabrikan dan pengguna alkohol,
10) produsen dan pengisap nikotin, 150 orang mati sehari.

Kerjasama bahu-membahu kesepuluh komponen ini kemudian berlanjut dengan proliferasi penyakit syphilis, gonorrhoea (ada obatnya), HIV-AIDS (tak ada obatnya), kasus perkosaan, dan pada suatu titik di ujung jalan nun di sana: aborsi. Di negeri kita setahunnya berlangsung 2,3 juta abortus. Berarti setiap 15 detik seorang bayi mati, di trotoar ujung jalan Gerakan Syahwat Merdeka.

Merenungkan hal itu kini, ngeri saya memikirkannya. Merenungkan hal itu dengan perkiraan ke depan, jauh lebih menakutkan memikirkannya. Katastrofi format apa yang akan terjadi dengan cucu-cucu kita kelak kemudian hari? KITA HARUS BERBUAT SESUATU, BERSAMA-SAMA, SEKARANG.

Ini tidak terpikirkan sama sekali oleh HH. Karena itu dia sendirian asyik-sibuk-berputar-
berpusu dalam satu titik, yaitu butir ke-7. Memberi saran sepotong kalimat pun dia tidak terhadap destruksi sosial seraksasa itu formatnya. Empati tak ada, simpati kosong. Dia bisu-tuli tak peduli. Dia gigih menuntut hak badannya, hak kelaminnya supaya bebas dalam karya tulisnya.

Dapatlah kita ibaratkan rumah Indonesia sedang terbakar hari ini, dari beranda depan sampai ke dapur di belakang. Api berkobar bernyala-nyala. Kakek nenek, ayah ibu, anak menantu, keponakan pembantu, cucu-cucu sibuk mengangkati membawa barang yang bisa terbawa, seraya berteriak, sambil menangis, tergopoh-gopoh menyelamatkan diri. Kasau jeriau yang terbakar di atap, berjatuhan dari atas.

Dalam keadaan rumah terbakar seperti itu, ada seorang anak kecil, 10 tahun umurnya, merengek-rengek pada ayahnya yang sedang termiring-miring bahunya memikul koper berat dan menjinjing tas ibunya. Anak kecil itu minta uang belanja besok pergi sekolah, merengek- rengek menuntut hak badannya. Anak kecil itu HH.

4. Taman Kanak-kanak Nol Kecil.

Seorang guru mengajarkan ejaan sepuluh huruf sambil menunjuk ke papan tulis:

"A-B-C-D-E-F-G-H-I-J-K!"

Seluruh murid mengikutinya. Tapi ada seorang murid hanya mengeja satu huruf saja:

"G!"

"A-B-C-D-E-F-G-H-I-J-K!" kata guru.

"G!" katanya.

"Ulangi bersama-sama. A-B-C-D-E-F-G-H-I-J-K!"

"G!" ulangnya.

"Ulangi bersama-sama. A-B-C-D-E-F-G-H-I-J-K!"

"G!" ulangnya lagi sendiri.

"Eh. Anak-anak. Ayo. Bersama-sama. Kamu juga. Ayo. A-B-C-D-E-F-G-H-I-J-K!"

"G!" dia keras kepala mau menang sendiri.


Dia ulang-ulangi terus dengan gigih alfabet ketujuh itu. Bocah itu tak peduli pada gabungan sepuluh alfabet itu yang harus dipelajarinya bersama-sama.

Ketika HH berfilsafat-filsafat, beragama-agama, bertasawuf-tasawuf sastra dalam rangkaian tulisan "polemiknya" itu, penyair & dosen filsafat & tasawuf UII Yogya Kuswaidi Syafi'ie menyelentik telinganya, dan HH mengaduh-aduh kenyerian.

5. Gerakan Syahwat Merdeka, Amerika Utara.

Saya pernah mendapat kesempatan ketemu seniman atau aktivis kelompok atheis, homoseks, lesbian, feminis, anarkis, demonstran anti perang Vietnam, 36 dan 26 tahun yang silam, di Iowa City dan sekitarnya, ketika saya menjadi penyair tamu di International Writing Program, Universitas Iowa, 1971-1972 dan 1991-1992.

Dibandingkan dengan setting 1990-an, maka setting Amerika Serikat 1970-an jauh lebih seru, gemuruh, simpang-siur, penuh tinju beracungan dan koor demonstran berseragam hijau loreng-loreng anti perang Vietnam di lapangan. Sebuah revolusi seks sedang berlangsung pula. Kaum feminis gencar-gencarnya mengumumkan liberasi atau pembebasan kaum perempuan, maknanya liberasi kopulasi atau kebebasan berkelamin. Ganja dan heroin dikonsumsi seperti permen dan biskuit. Korban HIV-AIDS bermatian.

Di setasiun kereta bawah tanah New York, seorang laki-laki korban narkoba-HIV-AIDS menadahkan topi mengemis. Belum pernah saya melihat kerangka manusia berbalut kulit tanpa daging dan lemak sekurus dia itu. Sinar matanya kosong, suaranya parau ditenggelamkan deru mesin subway Manhattan.

Kematian banyak anggota kelompok ini, terutama di kalangan seniman di tahun 1970-an, tulis seorang esais, bagaikan kematian di medan perang Vietnam. Sebuah orkestra simfoni di New York, anggota-anggotanya bergiliran mati saban minggu karena kejangkitan HIV-AIDS dan narkoba, akibat syahwat bebas bablas itu. Para feminis liberator kaum perempuan itu tak acuh pada bencana menimpa bangsa karena asyik mendandani penampilan selebritas diri sendiri, saban sebentar cengengesan wawancara di layar kaca. Saya sangat heran. Sungguh memuakkan.

Kalimat bersayap mereka adalah, "This is my body. I'll do whatever I like with my body." "Ini tubuhku. Aku akan lakukan apa saja yang aku suka dengan tubuhku ini." Congkaknya luar biasa, seolah-olah tubuh mereka itu ciptaan mereka sendiri.

6. Seusai Polemik-polemikan Itu.

Itulah adegan garis besar Gerakan Syahwat Merdeka, Amerika Utara, 1970-an, yang berulang 3 dasawarsa kemudian di negeri kita dalam format sama, detail di sana-sini berbeda. Sosok dan bentuk organisasi resminya tak ada, tapi jaringan kerjasamanya mendunia, kapital raksasa mendanainya, ideologi gabungan melandasinya dengan gagasan neo-liberalisme sebagai lokomotifnya, dan banyak media massa jadi pengeras suaranya.

Kelompok atheis, homoseks, lesbian, feminis, dan anarkis klop, bertemu ruas dengan buku memperkuat sepuluh komponen Gerakan Syahwat Merdeka negeri kita ini. Dengan energi dinamo neo-liberalisme, ciri kolektif mereka adalah tidak mau diatur oleh akal waras, anti peraturan yang ada, penuh gairah melabrak tabu, dan budaya malu sudah habis dikikis dari sistem susunan syaraf mereka. Kita harus pikirkan cara untuk penumbuhan kembali budaya malu ini kepada bangsa secara keseluruhan.

Kembali ke "polemik." Sebuah pesan pendek kesasar ke telepon genggam saya. HH mengaku kepada seorang sastrawan seumur dia, bahwa dirinya atheis. Dia sembunyikan itu dari saya. Ini kasus menarik, karena dalam "polemik" dia menjajakan ayat Quran dengan tangan kanan, dan ternyata di luar "polemik" dia mengibarkan umbul-umbul atheisme dengan tangan kiri. Tak ada rasa (canggung) risinya, karena ditunjang (hipok) risi 24 karat. Karena ingin tahu, tiga kali lewat pesan pendek saya bertanya kepadanya, dan dia mengelak terus. Selepas kali yang keempat HH menjawab (tapi tetap mengelak untuk menjawab pendek langsung "ya" atau "tidak"), dengan berteori-teori abracadabra sepanjang 1100 karakter tentang apa itu atheisme. Pada hari Ahad 7/10/2007 sebuah pesan pendek HH ditembuskan pula ke telpon genggam saya, yang dengan bangga menyebut "aku menyelundupkan 'atheisme' pagi ini di media indonesia dalam ruang cerpen." Hebat. Sms itu dikirimkannya di bulan Ramadhan, dua pekan sebelum
Idulfitri.

Kawan-kawan saya bertanya tentang "polemik" yang berlangsung di Jawa Pos, Republika, Media Indonesia , dan Sekitar Indonesia itu. Saya katakan itu bukan polemik, tapi polemik-polemikan, atau (dengan tanda kutip) "polemik," karena gagasan saya A-B-C-D-E-F-G-H-I-J-K, hanya dialihkan ke GA saja. Format masalah G hanya 10% dari keseluruhan dari segi komponen, bahkan kalau ditinjau dari segi lain bisa cuma 1%, mungkin hanya 0,1% dalam keseluruhan Gerakan Syahwat Merdeka. Tapi HH berusaha keras mengalihkan masalah, dan memperbesar porsi sastra. Saya tidak layani pengalihan masalah itu. Sementara itu muncul pengakuan atheismenya itu.

Kemudian datanglah e-mail 20/10/2007 yang ditembuskan kepada saya berjudul "Taufiq Ismail Mengadukan Hudan Hidayat Atheis Kepada Pemerintah." Rupanya HH, yang bekerja di Kementerian Pemuda dan Olahraga dipanggil atasannya, yang tentu saja mengikuti "polemik" anakbuahnya di media pers itu.

Saya tidak pernah mengadukan HH kepada Pemerintah. Mengadukan? Buat apa? Apa urgensinya? Tidak ada untungnya sama sekali. Bahkan rugi memboroskan kalori jasmani dan menghabiskan waktu arloji saya. Anakmuda ini cerdik sekali mencari cara mempublikasikan dirinya dan bisa jadi kasus contoh praktek di London School of Public Relations.

Urusan saya banyak, dan "polemik" yang secara cerdik dibelokkan persoalannya ini ternyata berakibat publikasi gratis popularitas yang menguntungkan HH saja. Saya rugi tak berhasil meyakinkannya tentang beratnya masalah A-B-C-D-E-F-G-H-I-J-K bagi bangsa, yang begitu sempitnya diputar-putar dalam masalah G saja. Kawan-kawan sastrawan, terutama yang muda-muda yang kenal dia lama, semua bilang agar saya stop menghabiskan energi, jangan melayani, jangan mau gratis jadi manajer Public Relations-nya dan supaya melupakan HH saja. Saya rasa itu benar dan saya sudah agak terlambat.

Misalkan Menpora dan siapa pun bertanya kepada saya bagaimana saya menilai "atheisme" gagah-gagahan anakmuda seumur anak saya itu, menilik kepada argumentasinya, saya akan menilai dia seorang yang gigih mencoba mencari Tuhan dengan cara yang dia pilih sendiri, tapi pada saat ini metodologinya masih kusut dan dia ruwet-ruwetkan sendiri. Menutup e-mail 13.677 karakter ini, berikut ini alinea terakhir.

Mudah-mudahan suatu waktu kelak dia akan lepas dari kekusutan dan keruwetan tersebut, kemudian mendapat huda, petunjuk, sehingga betul-betul memperoleh hidayah, pencerahan, di jalan yang mustaqim. (Nama yang diberikan orangtuanya sangat tak cocok untuk seorang mulhid, seorang atheis. Tapi saya tak menganjurkannya ganti nama). Baraka Llahu fihi wa ahlihi. Amin.***

 


the FINAL THEORY - JURNAL SASTRA TUHAN HUDAN