CEPI SABRE'S NOTE - HUDAN HIDAYAT DAN SAUT SITUMORANG

04/08/2009 11:01



konon, revolusi pada umat manusia dimulai ketika manusia mulai menggunakan api.
tidak kurang promotheaus sekalipun harus berhadapan dengan murka para dewa
untuk sebuah perkara remeh : membawa api kepada manusia. api yang dikelilingi
oleh nenek moyang manusia yang belum berbaju itu telah merangsang timbulnya
bahasa. dan dengan bahasa, manusia bisa berbicara satu sama lain alih-alih
saling menggeram.

beberapa waktu lalu, saya menambahkan seseorang bernama hudan hidayat dalam
daftar teman saya di facebook. saya cukup sering masuk ke halaman facebooknya
untuk membaca catatan-catatannya. belakangan, terbaca juga oleh saya keributan
antara hudan hidayat dengan saut situmorang. entah soal apa. sepertinya
berkaitan dengan teater utan kayu dan goenawan mohamad. ada apa antara hudan
hidayat dan saut situmorang dengan teater utan kayu dan goenawan mohamad atau
ada apa antara hudan hidayat dengan saut situmorang, tentulah di luar kuasa
saya untuk ikut serta turut campur di dalamnya. pertama, karena saya tidak
mengerti tentang sstra, apalagi politik sastra. kedua, karena saya tidak kenal
hudan hidayat dan saut situmorang secara pribadi. jadi sungguh mati, saya tidak
peduli dengan keributan antara hudan hidayat dengan saut situmorang. keributan
kemudian melebar pada kegiatan hudan hidayat yang memberi komentar atau catatan
atas karya-karya penulis di facebook. dan semakin lebar lagi sampai kepada
penulis-penulis di facebook itu sendiri.

tokoh idola saya dalam sastra indonesia adalah iwan simatupang. merahnya merah,
lebih hitam dari hitam, tegak lurus dengan langit, ah ... judul-judul karyanya
saja pun saya sudah suka. dan entah kenapa, saya menjadi begitu terikat dengan
sastrawan-sastrawan dari tanah batak. ketika hudan hidayat membuat catatan
tentang iwan simatupang, bersemangat sekali saya membacanya. sayangnya,
informasi tentan iwan simatupang di tulisan itu tidak terlalu banyak.

saut situmorang sepertinya saya pernah lihat di film beth karya aria kusumadewa
sebagai salah satu pasien RSJ yang tergila-gila pada puisi salah ingat>. gaya bicaranya saat berkata, "bakar ... bakar ... bakarlah!"
terus ada dalam ingatan saya. lalu cerita pendeknya dalam sebuah buku kumpulan
cerita pendek yang diambil dari tulisan di internet oleh goenawan mohamad
tentang tutup botol minuman energi yang menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas
juga begitu memukau saya. puisi-puisi saut situmorang belum lagi saya tahu. dulu pernah saya cari-cari dengan mesin pencari google, tapi belum lagi sempat saya membacanya.

hudan hidayat mungkin satu nama besar dalam sastra indonesia. begitupun, saya
belum pernah mendengar nama hudan hidayat. jangan salahkan saya atau hudan
hidayat, salahkanlah para penerbit buku, karena jarang sekali ada buku sastra
di rak-rak toko buku. kalaupun ada, salahkan lagi para penerbit buku itu,
karena harganya terlalu mahal. seorang teman saya yang juga suka menulis puisi
menyarankan saya untuk berteman dengan hudan hidayat di facebook. maka jadilah
saya berteman dengan hudan hidayat dan kita kembali ke awal cerita saat saya
suka membaca catatan-catatannya dan membaca juga keributan antara hudan hidayat
dengan saut situmorang.
 
teringat saya pada perdebatan antara saya dengan ayah saya. beliau mengeluhkan
anak-anak muda yang gagal dalam sekolahnya dibandingkan dengan beliau yang
harus menempuh jarak puluhan kilometer berjalan kaki hanya untuk sekolah, dan
berhasil. saya mendebatnya dengan menyebut banyaknya kafe atau mall di
sepanjang jalan menuju sekolah. tantangannya berbeda, kesulitannya sama. kata
'sama' inilah yang akan saya berikan kepada saut situmorang ketika saut
situmorang menyebut penulis di facebook sebagai pemula. pada sebuah komentar
saya di catatan dinding hudan hidayat, saya menulis ,"pada satu periode,
bukankah seseorang yang bernama hudan hidayat atau saut situmorang sekalipun
adalah juga seorang pemula ..." pemuda paling gagah sekalipun, pada satu
periode, adalah juga bayi tanpa daya yang harus menetek di dada ibunya, untuk
kemudian menjadi tua dan mati. adakah saut situmorang akan menafikan
tahapan-tahapan itu ? penulis-penulis di facebook yang disebut pemula oleh saut
situmorang sedang meretas jalan yang dulu pernah dilalui juga oleh saut
situmorang dan hudan hidayat. medianya berbeda, kesulitannya sama. beberapa
karya penulis-penulis ini memang terasa mentah, tapi bukankah di situ letak
godaannya ? begitu mudahnya seseorang untuk mempublikasikan karyanya, sehingga
fungsi saringan, bahkan oleh dirinya sendiri, terlupa untuk dilakukan. dan di
titik inilah, penulis-penulis pemula itu membutuhkan orang-orang dengan
kapasitas seperti saut situmorang untuk memberikan penilaian atau kritik
terhadap karya mereka, sebuah tugas yang kemudian diambil alih oleh hudan
hidayat.

pada sebuah catatan dindingnya, hudan hidayat menulis ,"sudah menulis sastra
tiap hari. tinggal membaca dan menulis." mungkin yang dimaksud oleh hudan
hidayat adalah ,"sudah menulis sastra tiap hari. tinggal membaca dan memberi
komentar." saya pikir, hudan hidayat sedang mengembangkan tradisi berbicara.
tradisi yang sudah dimulai oleh nenek moyang manusia ratusan ribu tahun yang
lalu. tradisi yang diperluas oleh alexander graham bell untuk kemudian
dijadikan barang dagangan utamanya PT. TELKOM. tapi tradisi berbicara ini
memang penting, karena menurut saya tradisi inilah yang menjadi agen perubahan.
tradisi yang dikembangkan hudan hidayat yang kemudian disebut saut situmorang
sebagai rumpi atau ngrumpi sastra. tidak soal juga, karena ngrumpi pun hanyalah
varian dari berbicara, sama dengan menelepon atau berpidato atau siaran atau
seminar atau menulis dan membaca.

saya adalah seorang arsitek. dikutuk untuk menjadi seorang arsitek. saya juga
menulis tentang arsitek, tentang karya-karya arsitek, tentang pekerjaan saya.
satu dua kali saya menulis puisi yang satu dua kali juga saya publikasikan di
halaman facebook saya. beberapa teman saya yang cukup beriman menanggapinya
dengan macam-macam pujian, yang lain rupa-rupanya kurang imannya dan tidak
menyukainya, yang lain lagi hanya mencantumkan sebaris tanda tanya di kotak
komentar. satu dua kali hudan hidayat memberi jempolnya sebagai tanda suka.
sungguh sebuah kehormatan. tapi belum ada kehormatan pada saya untuk dibahas
lebih jauh dalam catatan hudan hidayat atau sekedar dikutip dalam catatan
dindingnya. tidak mengapa. toh saya bukan sastrawan, pun tidak berkeinginan
untuk menjadi sastrawan. dalam salah satu catatannya, hudan hidayat menulis
,"... penulis-penulis ini merasa terhormat karena seseorang sehebat hudan
hidayat mau mengomentari karya mereka ..."
tulisan di catatan hudan hidayat, tapi kira-kira seperti inilah yang ditulis
olehnya> terdengar narsis dan terlalu memuja diri sendiri. tapi benar.
tanggapan dari teman-teman saya pun bisa melambungkan saya begitu tinggi,
apalagi acungan jempol dari hudan hidayat. saya sendiri satu dua kali memberi
komentar pada karya teman-teman saya, dari pandangan saya sebagai pembaca
tentunya. tidaklah ada kapasitas saya untuk menanggapinya dengan
istilah-istilah diksi, metafora, atau baju bahasa, karena saya sendiri tidak
mengerti artinya. kalau saya paksakan, malah bisa membuat teman-teman saya
tersesat. berbeda dengan hudan hidayat yang mendalami bidang ini. tahapan
menulis-membaca-berkomentar ini, saya pikir akan menjadi tradisi berbicara yang
baik sekali untuk perkembangan sastra atau bidang apapun.

jadi bagaimana saya harus menutup catatan saya ini ? dengan 'berdamailah hudan
hidayat dan saut situmorang' atau 'teruslah berkarya dan majulah sastra
indonesia' ? aah ... lebih baik saya tutup dengan : saya sudah menulis,
silahkan membaca dan memberi komentar.

 


the FINAL THEORY - JURNAL SASTRA TUHAN HUDAN